Menjelang akhir tahun 2008 lalu, KHCC mengadakan Adventouride Touring untuk pertamakalinya. Berlangsung selama 3 hari (27-29 Desember 2008), kegiatan ini meninggalkan banyak kenangan bagi masing-masing peserta touring. Dari mulai jalur yang ditempuh, cuaca yang menantang, boncengers wanita hingga obyek wisata yang dikunjungi. Nah, salah satu obyek wisata yang dikunjungi adalah Air Terjun Cikaso. Di tempat yang jauh dari keramaian lalu lintas ini, terletak air terjun yang tingginya mencapai 20 meter. Untuk mencapainya, kita harus menggunakan perahu menyusuri sungai. Namun justru bukan air terjunnya yang menarik perhatian saya. Siapa sangka, di tempat ini saya mendapat secuil cerita realitas sosial yang menyentuh nurani. Realitas sosial yang mungkin disampaikan dengan lirih tanpa pretensi apa-apa. Bukan pemandu wisata setempat atau pejabat yang menyampaikan kisah ini. Bukan juga wartawan. Serpihan kenyataan itu saya dapat dari seorang tukang parkir.
Beberapa menit setelah selesai dari kunjungan ke Air Terjun Cikaso, saya dan Andry menuju tempat parkir motor. Berbeda dengan rekan-rekan lainnya yang memarkir kendaraan di samping rumah milik seorang penduduk, kami justru memarkir kendaraan di pelataran reruntuhan sebuah rumah. Nah, pada saat itulah, seorang pria paruh baya, menghampiri kami sambil bertanya, “sepatunya mau dipakai ya?”. Kami berdua pun mengiyakan. Ia lalu pergi dan kembali lagi dengan tiga pasang sepatu touring yang kami titipkan padanya saat tiba beberapa jam lalu. Salah seorang rekan, Iwan “daging”, mengambil sepatu miliknya dan kembali ke tempat parkiran di seberang. Sementara Andry langsung sibuk melakukan packing dengan barang-barangnya. Sementara, saya dengan santainya duduk di pelataran rumah kosong tersebut. Saat saya tengah mengenakan kaos kaki, tiba-tiba kang Mamat (sebutlah namanya demikian) bertanya,
“Bagaimana air terjunnya?”. Saya pun menjawab, “Bagus kang. Segar! Kita sempat mandi di sana!”.
“Iya. Sayang kalo ke situ (air terjun) nggak mandi. Di situ juga banyak orang pakai untuk syuting”, sambungnya sambil kemudian menghisap rokok kreteknya.
“Ohh gitu ya.. “, Andry yang sudah hampir usai berbenah menyahuti.
“Syuting apa kang?”, tanya saya sambil mulai mengenakan sepatu.
“Syuting apa saja. Kadang-kadang pilem, tapi sering juga sinetron. Malah, ada yang poto buat kawinan tuh.” Jawabnya lengkap. Saya tersenyum dan berpikir, mungkin yang dimaksud adalah foto pre-wedding yang lagi trend saat ini.
Andry sudah pergi entah ke mana ketika kang Mamat bertanya lagi.
“Ini semua dari Jakarta?” tanyanya dengan logat sunda yang cukup kental sambil memerhatikan kendaraan saya, (Honda Karisma 125cc tahun 2003).
“Iya kang. Kita komunitas motor Honda Karisma dari Jakarta. Tiba Sabtu sore kemarin. Menginap di Ujung Genteng.”, jawab saya sambil menoleh ke arahnya. Ia mengangguk dan tak lupa mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Saat itu, tiba-tiba saja sebuah minibus tiba di depan kami. Lalu turun pula beberapa orang pengunjung dari bus tersebut. Dalam sekejap, mereka langsung tawar menawar harga untuk menaiki perahu dengan pemuda yang memang menjadi operator jasa penyeberangan. Untuk menuju ke lokasi air terjun, kita memang harus menggunakan perahu. Tarifnya sekitar Rp. 50.000,- per perahu, pulang-pergi. Sementara mereka menawar harga, saya dan kang Mamat mulai bercakap-cakap lagi.
“Kang, nanti saya bayar parkir ke siapa? Ke akang atau ke sana? “, tanya saya (sambil menunjuk ke arah parkiran rekan lainnya).
“Ohhh, ke saya atuhh…, kan beda tempat. Jadi bayarnya juga beda orang.” Jawabnya dengan sedikit serius.
“Kenapa begitu kang? Bukannya ini semua dikelola secara swadaya? Sepertinya tidak ada pungutan resmi dari pemerintah?” tanya saya menjawab mimik seriusnya. Kang Mamat menghisap kembali asap rokoknya dalam-dalam. Sesaat kemudian, bersamaan dengan keluarnya asap itu dari mulutnya, ia mulai berkata-kata. “Wah, kalo itu mah ceritanya panjang”.
“Maksudnya bagaimana kang?”, tanya saya tak kalah seriusnya.
Kang Mamat pun mulai bercerita. Beberapa tahun lalu rencananya tempat ini akan digarap secara serius sebagai tempat wisata. Papan penunjuk arah ke lokasi ini sudah ditempatkan di mana-mana untuk memudahkan wisatawan mencapainya. Bahkan sudah tersedia pula pos retribusi di jalan utama menuju lokasi air terjun. Tidak lupa juga papan nama berukuran besar di jalan masuk serta lahan parkir yang memadai. Namun, justru dari situlah permasalahan dimulai. Belakangan diketahui, retribusi yang dipungut dari para wisatawan tidak jelas penyalurannya. Masyarakat setempat tidak merasakan secuil pun manfaat dari retribusi itu. Lalu lahan parkir juga menjadi masalah. Masyarakat setempat justru tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi. Pemasukan dari lahan parkir pun menjadi rebutan sekelompok orang. Akibatnya, terjadi konflik antara masyarakat dan sekelompok orang tersebut. Konflik pun berlarut. Solusinya cukup radikal. Mulai dari papan nama, pos retribusi hingga penunjuk arah, hampir semuanya dicabut. “Buat apa dikelola kalo masyarakat setempat tidak mendapat manfaat?” ujar kang Mamat dengan mata berkaca-kaca dan tangan bergetar.
“Jadi kelanjutannya bagaimana kang?”, tanya saya semakin ingin tahu.
Kang mamat menyalakan kembali rokoknya yang sempat mati. Lalu dihisapnya asap rokoknya itu dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan ceritanya kembali.
Menurutnya, sejak tidak adanya pengelolan terpusat, masyarakat setempat mengelola lokasi ini secara swasembada. Semua dilakukan berdasarkan musyawarah. Hasilnya, semua warga mendapat bagian. Ada yang membuka warung minuman, ada yang mendirikan lahan parkir (seadanya), ada yang menyewakan perahu dan lain-lain. Intinya, dengan cara mereka, masyarakat di sekitar berusaha mendapatkan imbal balik dari obyek wisata tersebut. Lalu, entah kenapa kang Mamat juga menyebut potensi Ujung Genteng yang terabaikan. Menurutnya, dulu ada rencana besar dari Babeh alias presiden RI yang berkuasa selama tiga dasawarsa, untuk mengomersialkan seluruh pesisir Ujung Genteng. Menurutnya lagi, masyarakat sudah gembira dengan semua itu. Namun rencana itu kandas di tengah jalan ketika “si babeh” terjungkal pada tahun 1998. “Akhirnya yah kayak sekarang ini. Gak ada yang dikelola dengan baik. Semuanya serba tanggung dan untuk kepentingan sekelompok orang.” Ujar kang Mamat menutup ceritanya. Tak lupa ia menghisap kembali asap rokok kreteknya dalam-dalam. Seakan-akan hal itu membuat kekecewaannya berkurang. Tanpa disadarinya, saya memerhatikan kedua tangannya yang bergetar dan matanya berkaca-kaca. Lelaki paruh baya ini seakan-akan puas menumpahkan keresahan yang tertahan selama ini. Saya tidak bisa berkata-kata. Baru saja sebuah realitas sosial dipaparkan sebegitu singkat dan cermat. Bukan oleh sosiolog, tapi oleh kang Mamat si tukang parkir.
“Tet! tet!”, bunyi klakson stebel dari rekan-rekan seakan memaksa saya keluar dari “ruang dialog” dengan kang Mamat. Saya pun berdiri dan mengenakan helm. Kang Mamat berdiri, sambil tak lupa tersenyum. Matanya masih berkaca-kaca. Namun bahasa tubuhnya seakan-akan mengatakan betapa leganya ia melepaskan secuil beban yang dipanggulnya selama ini. Saya lalu menghampirinya, sambil menyerahkan selembar sepuluh ribuan, saya berkata, “Maturnuhun (terimakasih) kang. Kapan-kapan kita sambung lagi ngobrol-ngobrolnya“. Ia menjawab, “Iya, sama-sama dik. Kalo ada waktu, main lagi ke sini”. Saya pun mengangguk. Sebelum meninggalkan kang Mamat, tak lupa saya mengacungkan jempol dan membunyikan klakson. Kang Mamat membalas dengan senyuman dan lambaian tangan.
Saya menjadi rider terakhir yang meninggalkan kawasan itu. Sambil berkendara melewati jalan berbatu, saya perhatikan rumah penduduk di kanan dan kiri. Bentuknya sederhana namun juga bersahabat. Melewati portal yang terbuat dari bambu, seorang ibu yang menggendong anaknya tersenyum seakan-akan mengucapkan selamat jalan. Tak lama kemudian, saya menjumpai dua bocah yang tengah bermain di pekarangan rumah. Saya melambaikan tangan ke mereka. Dengan senyum polosnya, dua bocah ingusan itu juga melambaikan tangan mereka. Salah satunya bahkan menirukan suara motor dengan mulutnya, “brum…brum…”, suara itu keluar dari mulut mungilnya. Saya cuma bisa tersenyum melihat tingkah polah mereka. Lalu saya berpikir, alangkah berkesannya tempat ini. Kang Mamat dengan kisahnya, senyum seorang ibu dan keluguan bocah-bocah desa seakan menjadi oleh-oleh tak terkira dari air terjun Cikaso. Tak bisa saya bayangkan jika ada pos retribusi di depan jalan ini. Dengan petugas-petugas berseragam yang kaku, mungkin pengunjung dianggap tak lebih dari mesin uang belaka. Tidak ada ucapan selamat datang, tidak ada senyum. Mungkin hanya karcis saja yang disodorkan. Yang penting bayar! Jangan-jangan, penduduk pun hanya menganggap para pengunjung mengganggu ketenangan. Untuk itulah saya bersyukur, betapa beruntungnya bisa merasakan kesederhanaan dan keramahan penduduk setempat. Terimakasih kang Mamat, terimakasih para bocah. Terimakasih Ujung Genteng. Terimakasih. (hnr)