Catatan Penulis:
Rencananya, pada bagian kedua ini, penulis akan memuat jawaban dari AKBP Nelida Rumapea, SH, MH dari Dirlantas Polri perihal UU No. 22 Tahun 2009. Namun hingga tulisan ini diunggah ke blog, beliau belum menggenapi janji yang dimaksud. Untuk itu, penulis mencoba menyampaikan jawaban dari panelis-panelis lainnya.
1. Apakah ada program berkelanjutan mengenai sosialisasi UU no.22/2009?
Eddy Gunawan (EG) dari Kementrian Perhubungan: “Pasti, kita akan terus sosialisasikan undang-undang ini. Masyarakat juga butuh waktu untuk menyerap dan menerima undang-undang ini”.
Edy Halomoan (EH) dari LBH Jakarta: “Harus! Karena ini merupakan transisi dari peraturan lama, ke peraturan baru, maka perlu waktu untuk disosialisasikan ke masyarakat”.
2. Mengenai ambang batas polusi suara dan udara apakah ada angka benchmark eksaknya? Hal ini untuk mencegah multi interpretasi yang subjektif terhadap makna bising dan bau.
EG: “Ini terkait dengan peraturan teknis. Ini yang sedang kami kerjakan dalam Peraturan Pemerintahan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, berhasil diselesaikan dan bisa dijadikan acuan bagi aparat di lapangan. Mengenai uji emisi, hanyalah sekedar pengingat bahwa kendaraan belum layak kadar gas buangnya. Jadi solusinya hanya di servis secara layak, lalu diuji kembali”.
EH: “Itulah mengapa begitu banyak petunjuk teknis, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah yang harus dibuat untuk menunjang undang-undang ini. Oleh sebab itu, pemerintah harus bertahap dalam menjalankan undang-undang ini. Jangan sampai, peraturan pendukungnya belum siap, lalu diterapkan. Yang ada justru penolakan dari masyarakat”.
3. Dalam periode tahunan, sejauh mana konsistensi penegakan UU no.22 ini? Apakah hanya “kalau ketahuan” saja?
Tulus Abadi (TA) dari YLKI: “Ini dia masalahnya. Public Distrust sudah begitu besar dari masyarakat. Segala kebijakan transportasi tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. Lihat saja masalah yang terus mendera di busway. Lalu juga nasib monorail yang tidak jelas. Belum lagi subway. Semuanya tidak tuntas”.
4. Bagaimana perihal pembatasan knalpot? Apakah mengacu pada tingkat DB suara atau bentuk?
EG: “Kita sedang garap peraturan pendukungnya. Mohon bersabar”.
5. Bagaimana kalo knalpot di SNI-kan saja? Jadi, pembeli knalpot pun aman membelinya.
[belum ada jawaban]
6. Kapan realisasi pemberlakuan UU no. 22 tahun 2009 dilaksanakan secara sungguh-sungguh?
[belum ada jawaban]
7. Kenapa kelihatannya sosialisasi ini seperti membabi buta?
[belum ada jawaban]
8. Kenapa tidak berjenjang dahulu? Misalnya mulai dari helm standar non-cetok, lalu rider, dan boncenger, baru deh standar SNI?
[belum ada jawaban]
9. Apakah tidak ada upaya sosialisasi seperti pembagian helm sni gratis, atau program tukar tambah helm non standar dengan helm SNI?
[belum ada jawaban]
10. Bagaimana dengan helm impor yang non-SNI? Apakah otomatis tidak boleh digunakan?
EG : “Wah tidak seperti itu. Saya yakin helm impor dengan standar DOT atau lainnya sudah sangat baik. Tapi SNI kan standar Indonesia, jadi kita harus ikuti. Nah, tidak mungkin juga semua pengguna helm non-SNI kita tilang. Masih perlu sosialisasi. Sekali lagi, kita sedang bahas itu dalam RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah)”.
EH: “Harap diingat, selama Peraturan Pemerintah dan peraturan pendukung lainnya belum jelas, maka dengan sendirinya UU ini layak diperdebatkan. Harus jelas standar yang digunakan. Misalnya bentuk, tingkat suara yang dikatakan normal atau bising. Jika standarnya tidak jelas, maka UU ini menjadi rancu”.
11. Sosialisasinya belum terarah. Selama ini yang terlihat hanya spanduk DRL saja. Itu pun tidak semua orang patuh.
[belum ada jawaban]
12. Apakah peraturan ini berlaku juga bagi para petugas polisi juga? Jika ada rekan polisi yang melanggar, misalnya menggunakan lampu mika kuning/menyilaukan sebagai lampu rem maupun lampu utama. Berboncengan tidak menggunakan helm.
[Hal ini sempat penulis tanyakan kepada AKBP Nelida Rumapea, SH, MH saat diskusi sesi kedua. Tetapi belum sempat dijawab. Beliau menjanjikan menjawab via email bersamaan dengan daftar pertanyaan yang penulis berikan]
13. Bagaimana dengan pengguna helm lokal, yang merknya sudah dapat sertifikasi SNI tetapi saat membeli produk belum ada emboss SNI di produk tersebut? Atau helm masih dalam kondisi sangat baik ( baru satu tahun tanpa mengalami kecelakaan/benturan), tapi belum ada label emboss SNI. Apakah jika ada razia nanti akan ditilang?
[sudah terjawab di no. 10]
14. Sejauh mana konsistensi pemerintah terhadap uu ini?
[belum ada jawaban]
15. Contoh kasus safety belt. Sekarang banyak terlihat supir angkutan umum tidak menggunakan safety belt. Dan tidak ada penindakan dari aparat di lapangan. Dan razia safety belt pun tidak lagi segencar dahulu, ketika peraturan ini diterapkan.
[belum ada jawaban]
16. Lalu bagaimana dengan DRL / menyalakan lampu di siang hari? Sekarang banyak yang tidak menyalakan, tetapi tidak mendapat teguran dari petugas lapangan.
[belum ada jawaban].
Mohon maaf sebelumnya kepada para pembaca, blogger ataupun rekan bikers yang pertanyaannya belum mendapatkan jawaban. Namun penulis akan mencoba setiap kesempatan yang ada untuk menyampaikan pertanyaan ini kepada pihak-pihak yang terkait. Thanks bros n sis!(hnr)
ijin nyomot/nyantol beberapa point buat artikel ku bro 🙂
monggo mas taufik… jangan lupa saya harus dapat kaos koboi juga ya. Loh kok? jiakakakaka….
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
Mungkin sosialisasinya saja beda tiap daérah.
Di tempatq, polisi yg mau sosialisasi malah
mampir ke tempat parkir….
Yang helem batok langsung diambil, nggak di-
kembalikan lagi. Aq setuju banget Bro. Terus
setelah itu sosialisasi peraturannya, yang
bisa njawab sedikit² materi sosialisasi lang-
sung mendapat helm SNI meski cuman 3 buah yg
dibagikan. Tapi paling tidak, ini contoh yg
baik sekaligus mengedepankan unsur keramahan
dalam sosialisasi ke masyarakat….
mantab idenya bro…
mudah-mudahan aparat melakukannya lebih baik lagi…
Itu belum seberapa. teganya teganya
*Anggur Merah – Meggy Z
bro jadi kalo gitu, peraturan ini blom bisa di aplikasikan donk yach???
karena masih berbentuk RPP ??
kira2 berapa lama waktu sosialisasinya???
karena seperti helm polisi pun mereka pake merk INK, yang artinya ngga ada logo SNI nya, yang ada DOT.
halo bro… sebenarnya UU sudah bisa berlaku walaupun belum ada PP-nya. nah, inilah yang dikhawatirkan akan digunakan oleh oknum polisi. Misalnya, soal ke bisingan. Itu standarnya apa? Kan suara itu desibel, berarti harus berani menetapkan standar desibelnya. Dari sisi ekonomi saja, satu produsen knalpot mengaku penjualannya turun 40% sejak UU ini mulai diberlakukan. Inilah mumetnya kalo UU dibikin cuma untuk kejar setoran. Implementasinya kurang dipersiapkan. Mudah-mudahan RPP itu menjadi PP sebelum Juni 2010 bro.
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
jalanan udah ruwet, ditambah peraturan-peraturan yang meperruwet suasana?
hijrah aja yo’!
kalo knalpot di SNI kan… harley Dav gak boleh beredar donk… mereka sama2 berisik knalpotnya…
Spt knalpot merk D*S…. kalo di RPM rendah mungkin tidak signifikan bisingnya… tapi kalo udah RPM diatas 7000… pasti berisik… tentu parameter ini juga dipertimbangan ketika menguji SNI knalpot…
FYI knalpot free flow banyak yang di razia di Bogor dan Rangkas Bitung CMIIW