MRT, Kapan ada di Jakarta?

Jika anda berkunjung ke Singapura, perhatikanlah kondisi lalu lintas di jalan raya. Entah itu waktu libur, atau jam-jam sibuk di hari kerja.  Memang pastinya macet kalo hari kerja, tetapi jika diperhatikan secara seksaman, kepadatannya tidak seperti di Jakarta. Tidak ada ribuan motor menyemut, menyempil, mencari celah diantara himpitan kendaraan. Dan juga tidak ada angkutan umum yang kelebihan penumpang sampai menyisakan para penumpangnya bergelayutan di jalan. Dijamin, anda tidak akan menemukan kerumunan penumpang di halte. Pengendara motor, bisa dihitung dengan jari. Pengemudi mobil, memang banyak, tapi jika dilihat secara seksama, juga terdapat bus dan taksi dimana-mana. Lalu, bagaimana warga Singapura beraktivitas tanpa harus memenuhi jalan raya dengan sepeda motor, atau kendaraan pribadi?

Mereka ramai di bawah tanah. Ya, adalah MRT (Mass Rapid Transportation) yang menjadi andalan warga Singapura. MRT ini sebenarnya adalah moda transportasi kereta listrik. Tetapi berada di bawah tanah, dan terintegrasi secara keseluruhan. Dikatakan terintegrasi, karena stasiun pemberhentian MRT selalu saja dekat, atau mempunyai akses langsung ke pusat perbelanjaan, kawasan bisnis, obyek wisata hingga pusat keramaian lainnya. Paling tidak, itulah yang penulis rasakan saat menjadi penumpang MRT di Singapura beberapa hari lalu.

Para Penumpang Menunggu Kereta Berikutnya.

Misalnya saja, penulis hendak menuju obyek wisata Merlion Park, tempat patung singa yang terkenal itu. Nah, karena menginap di area Little India, penulis memilih titik keberangkatan dari stasiun Farrer Park. Pintu masuk stasiun ini berada di depan City Square Mall, jadi para penggemar belanja bisa langsung mengakses MRT. Setelah mempelajari peta MRT dari flyer wisata dan yang juga terdapat di pintu masuk stasiun, penulis memutuskan taktik sebagai berikut. Mulai dari Farrer Park dengan menggunakan kereta NE (North East). Kereta MRT dibagi berdasarkan wilayah, dengan perbedaan warna pada jalur yang dilewati. Nah, setelah itu, turun di interchange Dhoby Ghaut, kembali melanjutkan perjalanan dengan menaiki kereta NS (North South) menuju stasiun Raffles Place. Dari situ dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Merlion Park. Ribet? Ah tidak juga, itu mungkin sama saja dengan berangkat dari Bekasi, turun di Gambir, lalu melanjutkan ke arah Bogor.

Peta Perjalanan Seperti Ini, selalu terpampang di tiap Stasiun. Foto:wikipedia

Jangan takut akan tersesat atau tertinggal MRT. Di tiap-tiap stasiun, lengkap disediakan peta MRT per wilayah, dan juga secara keseluruhan. Tak lupa layar LCD (Liquid Crystal Display), selalu memberitahukan kapan kereta berikutnya akan tiba, serta kemana tujuannya. Lalu bagaimana dengan bahasa? Jangan khawatir. Bahasa sehari-hari warga Singapura juga melibatkan bahasa Indo-Melayu. Jadi di setiap papan pengumuman, selalu tersedia terjemahan bahasa melayu yang kita pahami. Nah saat ingin menaiki kereta, dahulukanlah yang penumpang yang keluar, hal ini bertujuan agar tidak terjadi desakan selama proses naik turun.

Sesaat berada di kereta. Penulis langsung takjub. Bagaimana tidak? Walaupun banyak penumpang yang berdiri, tetapi sirkulasi udara berpendinginnya sangat terasa. Nyaman, segar, dan cahaya lampunya juga cerah serta tidak menyilakukan. Kondisi kursi, tiang dan bagian interiornya juga terawat. Alhasil, para penumpang pun tenang. Walaupun berdiri, banyak yang asik ngobrol, mendengarkan musik dari mp3 player, membaca buku hingga bermain game dalam perangkat portabel.

Suasana di dalam kereta MRT. Padat, tetapi tidak sumpek. Bersih dan Segar.

Lalu ada pemandangan yang mencerahkan. Rupanya, di tiap-tiap sisi kursi penumpang, posisi paling pojok diberikan label “RESERVED SEATING”. Kursi ini hanya khusus bagi penumpang lanjut usia, ibu-ibu hamil, wanita yang membawa anak dan penumpang yang mengalami cidera fisik. Dan terbukti bukan Cuma tempelan. Tidak ada anak muda yang menduduki kursi tersebut. Dan walaupun kursi sudah terisi, jika ada orang tua, wanita atau ibu hamil menaiki kereta, ada saja yang merelakan tempat duduknya di bagian lain. Sungguh suatu budaya yang patut ditiru.

Dan MRT masih punya banyak kejutan bagi orang Indonesia seperti halnya penulis. Di dalam gerbongnya, selain suasana yang nyaman dan aman, juga informatif. Setiap kali hendak berhenti di satu stasiun, suara announcer langsung memberitahukan stasiun yang dimaksud. Tak lupa juga sebuah tampilan LCD memberitahukan hal yang sama. Bahkan kita diberitahukan berapa menit lagi akan tiba. Lalu, di bagian atas tiap-tiap pintu, terdapat peta wilayah MRT yang tengah kita jalani. Uniknya, ada lampu-lampu kecil yang menyala di tiap-tiap titik stasiun. Jadi, jika kita berangkat dari Farrer Park menuju Dhoby Ghaut, maka lampu akan kelap-kelip di titik Farrer Park, lalu beberapa saat kemudian lampu akan menyala penuh di Dhoby Ghaut . Artinya, stasiun berikutnya adalah Dhoby Ghaut. Dan tak lupa, kita juga bisa mengetahui berapa lama perjalanan dari satu stasiun ke stasiun berikutnya.

Panel informasi posisi terakhir kereta di atas pintu.

Saat transit di Dhoby Ghaut, penulis sungguh tercengang. Ratusan manusia turun dari kereta dan beramai-ramai menaiki elevator menuju koridor pergantian arah perjalanan. Mereka semua berbondong-bondong bertemu di satu titik koridor. Mereka bisa saja mengarah ke Orchard Road, Clarke Quay, Fahrer Park atau justru seperti penulis, ingin ke Merlion Park. Titik transit ini menjadi atraksi kepadatan manusia yang cukup enak dinikmati. Padat, namun tertib. Mantab! Mungkin ini berkat peran serta papan-papan pengumuman dan pengarahan yang ditempatkan sepanjang koridor agar penumpang bisa menuju jalur yang mereka tuju.

Pelayanan Stasiun MRT mirip Bandara Udara

Tak lama kemudian, penulis tiba di stasiun Rafles Place. Dan sungguh “ajaib”. Ternyata stasiun ini langsung memberikan akses ke pusat bisnis dan perbelanjaan. Selain itu, sebuah wilayah terbuka yang luas, yang dikelilingi oleh gedung-gedung bertingkat, langsung dijumpai. Hadirnya hamparan rumput hijau yang dikelilingi oleh gedung-gedung bertingkat nan megah ini menjadi semacam oase peristirahat sejenak warga Singapura yang selalu dikejar waktu. Banyak pekerja yang duduk sejenak, sambil menyeruput minuman atau juga memakan makanan ringan bersama rekan kerja. Mahasiswa, wisatawan, pekerja parlente hingga seniman bisa dijumpai beristirahat di sini. Tak jarang banyak duduk selonjoran, sambil membuka laptop dan memulai aktivitasnya. Jangan kaget juga jika di kawasan ini banyak orang berlari alias jogging. Sungguh luar biasa, Raffles Place seakan menjadi simpul aktivitas di Singapura. Tapi mohon maaf, bagi anda para perokok, hanya bisa merokok lima meter dari tong sampah terdekat. Lebih dari itu, kena denda S$100. 😦

Selesai dari MRT, langsung mendapat akses ke tempat ini. Fantastis!

Sebelum melanjutkan perjalanan, bisa foto-foto dahulu. 😀

Dari Raffles Place, lalu memasuki mall Collyer Quay yang ekslusif dengan tampilan arsitektur megah. Keluar dari situ, lalu berjalan sebentar menyeberang ke arah The Fullerton, salah satu hotel ternama di Singapura. Dan menyeberang lagi, lalu tibalah di Merlion Park. Tempat penulis “bersaing” bersama wisatawan lainnya mendapatkan gambar terbaik bersama sang singa. Hanya dua kali pindah kereta, dan beberapa menit berjalan, sudah tiba. Tidak bisa dibayangkan bagaimana lalu lintas Singapura jika tidak ada MRT.

Lalu bagaimana dengan biaya? Murah pastinya. Tidak ada sistem karcis atau kartu yang masuk-keluar dan diminta lagi. Kita juga tidak perlu bayar setiap kali ingin menggunakan MRT. Ada kartu EZLink yang digunakan. Kartu ini cukup dibeli sekali. Setelah itu bisa digunakan seterusnya sesuai dengan nilai nominal yang kita isi ulang. Pengisian ulang nilai nominalnya pun tersedia di tiap-tiap stasiun. Alatnya mirip ATM. Dengan memasukkan koin atau uang kertas pecahan kecil antara S$1 hingga S$4, kartu bisa kita isi ulang. Kita bahkan bisa mengecek berapa sisa nilai nominal di kartu. Jadi, kita tinggal menggesekkan kartu saat menemui portal-portal yang tersedia di pintu keluar/masuk stasiun. Dan santai saja, biaya menggunakan MRT dihitung berdasarkan jarak yang ditempuh, bukan tarif datar/flat. Rata-rata sekali perjalanan pulang pergi, memakan biaya S$2-S$4.

Kartu EZ-Link. Bisa digunakan untuk MRT, Bis dan Pembayaran Barang.

Mengakses pintu masuk peron, dengan hanya menempelkan kartu (dalam dompet)
ke sensor portal. Dan diberitahukan pula biaya yang dikenakan,
serta sisa nominal.

Mengecek sisa nominal di kartu EZlink. Bisa juga mengisi ulang.

GTM (General Ticketing Machines), mesin mirip ATM untuk pengecekan dan pengisian
nilai nominal kartu EZLink. Mesin ini terdapat di pintu masuk dan keluar stasiun.

MRT sungguh menjadi andalan Singapura dalam memenuhi kebutuhan mobilitas warganya. Dengan MRT, warga maupun wisatawan dapat mencapai tempat-tempat favorit tanpa harus berganti moda transportasi. Mulai dari Clarke Quay, Orchard Road, Jurong Bird Park hingga Taman Sentosa. Semuanya bisa dicapai dengan hanya naik MRT. Begitu juga dengan pusat belanja oleh-oleh seperti Bugis Street. Bahkan lokasi wisata kuliner China Town, mempunyai pintu masuk MRT tepat di depan area tersebut!

Selesai dari MRT, langsung antri menuju Bis kota tujuan. Tetap antri lah. 😀

Wajarlah jika penampakan sepeda motor di jalan raya Singapura, bisa dihitung dengan jari. Begitu juga dengan penggunaan kendaraan pribadi. Lebih banyak taksi dan bus yang berseliweran. Pemerintahnya sungguh-sungguh memberikan solusi yang efektif bagi masyarakatnya. Selain meninggikan pajak kendaraan pribadi, membatasi usianya, mereka juga memberikan transportasi aman, nyaman, terjangkau dan terintegrasi. Belum lagi dengan desain sistem yang memudahkan warganya.

Dalam perjalanan kembali ke kawasan Little India,  di dalam MRT saya membayangkan. Betapa indahnya menggunakan Monorail atau MRT dari Kalimalang, Bekasi, turun di Intechange Cawang, dan melanjutkan kembali ke Semanggi. Dari situ, melanjutkan perjalanan langsung ke Plaza Blok M. Sungguh nyaman. Jadi bertanya dalam hati, kapan MRT ada di Jakarta? (hnr)

Galeri Foto:

Iklan

10 comments on “MRT, Kapan ada di Jakarta?

  1. ga bakal ada di indonesia tuh MRT
    orang kita lebih nyaman pergi bergerombol misal naek motor bareng klubnya atau naek mobil pribadi.
    agak susah budaya kita klo buat gitu,liat ajah busway, water way dan suramadu.
    kondisinya jauh dari layak, padahal tuh mass transportation sudah di desain bagus tapi karena orang kita ga bisa disiplin dan rapih jadi sekarang lu tenggok sendirilah keadaannya..

  2. Di Jkt, Subway (MRT bawah tanah) gak jadi dibuat penyebabnya karena kita tdk punya peta bawah tanah. Kan gak lucu pas lagi menggali bawah tanah tau2 nabrak pondasi gedung bertingkat 😀

  3. betapa menyenangkannya kalau semua serba teratur n disiplin. jakarta diperkirakan macet total tahun 2014…..piye iki…!

  4. Enaknya pula, kartu mrt mereka juga terintegrasi dgn bus. Gw pernah nunggu bus dari watten park mau ke gleneagles. Pas dtg busnya gw gak nyadar msh minum coke dari vending machine dkt halte. Sopirnya kasih aba2 kalu coke gw gak boleh dibawa ke dalam bus. Gw lari2 dulu ke tempat sampah. Amat disiplin dan bersih.

  5. Informasi dari DTR DKI Jakarta, MRT akan direalisasikan awal tahun depan, serta direncanakan rampung & dioperasikan tahun 2016. So, tuk smua pihak, dtunggu az yax n moga pemerintah ga OMDO lg (alias omong doank).

Tinggalkan Balasan & Jangan Tampilkan Link Lebih Dari 1.

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s