
Di Jadetabek, penambahan jumlah sepeda motor mencapai 1707 unit perharinya. (sumber: KOMPAS)
Beberapa hari ini, wacana akan kebijakan mengurai kemacetan di Jakarta makin menguat. Terbukti, harian KOMPAS, membuat tema kemacetan menjadi berita utama empat hari berturut-turut. Mulai Selasa (27/7) hingga hari ini, Kamis, (29/7). Lalu bagaimana tanggapan pemerintah provinsi DKI Jakarta, selaku pemda yang menjadi bulan-bulanan kemacetan ibukota?
Ada beberapa pilihan yang diajukan, walaupun pilihan tersebut masih dalam wacana. Dari mulai pembatasan ruang gerak sepeda motor, hingga yang akan segera diujicoba, adalah melarang sepeda motor melintas di jalur yang terdapat busway/transjakarta. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Udar Pristono, seperti dilansir kompas.com mengatakan, “Penerapan pembatasan sepeda motor di jam-jam sibuk akan diutamakan di jalur atau jalan yang dilalui bus transjakarta. Untuk pertama kali, kami akan lakukan di koridor I Blok M-Kota,” ujar Udar Pristono, Selasa (27/7/2010).
Dalam ujicoba itu, Udar menambahkan para pengendara sepeda motor dipersilahkan untuk melakukan park and ride di sekitar halte bus transjakarta yang kini sedang dipersiapkan. Alasan memilih koridor tersebut karena menurutnya, fasilitas transportasi di koridor tersebut dinilai cukup bagus. Namun demikian Udar juga mengatakan saat ini masih dilakukan kajian yang mendalam tentang rencana tersebut.

Busway harus dibenahi lebih baik lagi, agar mampu menarik lebih banyak pengguna motor/mobil.
Jika rencana pembatasan sepeda motor dilakukan, pastinya akan ada konsekuensi. Baik itu secara ekonomis maupun sosial. Bagi pemilik sepeda motor, yang mayoritas kalangan menengah ke bawah, siap-siap saja menerima imbasnya. Eko misalnya, seorang anggota komunitas motor mengatakan, “Kenapa cuma motor yang dibatasi? Kenapa tidak mobil? Motor kapasitas maksimalnya hanya dua orang. Tapi mobil, kapasitasnya empat hingga enam orang. Namun sering kita lihat, isinya hanya tiga orang. Bahkan bisa satu orang. Coba kurangi mobil sepuluh buah saja, ruang di jalan pasti sudah terbuka lebar.” Hal senada ditegaskan Rudi, seorang pengendara yang sering wara-wiri di jalan-jalan protokol. “Jika ingin ngebatasin, semua saja. Dan hanya perbolehkan angkutan umum dan busway. Jadi benar-benar adil. Kok rakyat kecil yang dibikin susah,” ujar bapak satu anak ini.
Resistansi bukan saja dari kalangan pengguna sepeda motor, tapi juga dari kalangan anggota DPR dan LSM. Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi mengatakan, “Ini kebijakan yang harus dipertanyakan. Kenapa harus sepeda motor yang dibatasi, apa alasannya? Jelas ini sangat tidak masuk akal dan diskriminatif. Tulus juga menambahkan, “Kebijakan yang diambil lagi-lagi mengorbankan rakyat kecil. Masyarakat pakai motor itu, kan, karena tidak ada sarana transportasi yang murah dan cepat. Kalau sampai dibatasi, jelas kebijakan ini tidak independen,” tegasnya lagi. (sumber: kompas.com)
Sementara itu, anggota parlemen pun juga mengkritisi rencana penerapan kebijakan tersebut. Wakil Ketua Komisi II Teguh Juwarno, mengatakan, “Kalau motor dikatakan biang macet, memangnya jalan tol yang khusus untuk mobil itu tidak macet?” Ia lalu menambahkan bahwa masyarakat ibukota memilih sepeda motor karena kondisi Jakarta yang macet dan tidak memadainya transportasi ibukota.(sumber:vivanews.com)
Adanya sinisme terhadap kebijakan ini tergolong wajar. Jika dilihat dari peruntukkannya, tanpa statistik yang rumit pun bisa didapat dengan jelas mengapa orang memilh sepeda motor, yaitu karena ekonomis. Mungkin tidak murah meriah, tetapi dengan menggunakan sepeda motor, warga bisa efisien dalam pengeluaran. Ambil contoh Mardi. Karyawan swasta yang bekerja di wilayah Casablanca ini, berdomisili di Bekasi Timur. Dengan menggunakan sepeda motor, ia justru lebih hemat. “Awalnya saya menggunakan kendaraan umum. Tetapi, ongkosnya membengkak. Sehari, untuk ongkos saja bisa habis enambelas ribu. Jika dipikir-pikir, itu bisa bensin tiga hari kalau naik motor. Ya sudah saya mengajukan kredit motor,” ujar bapak satu anak ini. Mardi, yang berpendapatan dua juta rupiah per bulannya, mengaku lebih fleksibel menggunakan sepeda motor. “Jika saya naik angkot, sering kali supirnya ngetem semaunya. Akibatnya, waktu terbuang. Selain itu, ongkos juga sering dilebihkan. Kita sudah lelah, bayar, tetapi tidak dihargai. Kalau naik motor, kita bisa mengatur waktu keberangkatan sesuai perkiraan. Tidak perlu tergantung kepada angkutan umum yang sudah tidak manusiawi lagi. Bahkan jika macet, kita bisa cari jalur alternatif untuk menghindarinya,” tegas pria berbadan tegap ini.
Ketika ditanya perihal rencana Pemda DKI membatasi ruang gerak sepeda motor, Mardi pun menjawab serius. “Kalau benar direalisasikan, bisa habis nih uang bulanan cuma untuk ongkos doang. Sebenarnya sih, kalo ada busway, atau monorail, saya rela deh gak pake motor. Enak, hanya duduk, tidak pusing mikirin lalu lintas. Ada pendingin udara pula. Tapi kalo masih begini, yah jangan dong. Masak kita dipaksa naik angkutan umum yang gak manusiawi itu. Busway juga kan belum beroperasi di semua koridor,” tegasnya lagi.
Eko juga menambahkan, “Sebenarnya sih saya tidak keberatan. Oke juga, dari rumah sepedahan, setelah itu nyambung KRL lalu lanjut sepedahan ke kantor. Tapi kan tidak bisa setiap hari seperti itu. Karena saya kadang-kadang masuk malam atau sore. Lagipula, sudah diperhitungkan tidak, beban ekonomi yang bakal diterima? Mungkin untuk saya tidak masalah, tapi bagaimana dengan karyawan rendahan yang gajinya pas-pasan? Itu namanya menindas dong. Jika mau masyarakat pindah ke moda transportasi umum, kasih kita yang nyaman dan manusiawilah. Jangan kita dilarang naik motor, tapi transportasi gak dibenahin. Sama juga menyengsarakan rakyat itu,” ujar karyawan swasta ini.

Jika ada moda transportasi MRT seperti (di Singapura) ini, pasti masyarakat senang menggunakannya. Foto:Wikipedia.
Apa yang dijadikan penolakan, baik itu oleh LSM, warga bahkan anggota parlemen pun, memberikan sebuah sinyal. Yaitu wajib adanya perbaikan transportasi massal yang aman, nyaman dan terintegrasi. Terbersit keinginan warga yang mencari nafkah di Jakarta untuk mencicipi jaringan angkutan umum yang memberikan rasa manusiawi tersebut. Dan sungguh suatu paradoks ketika masyarakat pembeli sepeda motor, yang juga membayar pajak, justru dibatasi ruang geraknya. Padahal pertumbuhan sepeda motor yang tinggi, justru cermin tidak becusnya regulasi otomotif dan tiadanya kebijakan transportasi secara menyeluruh dan terintegrasi. Dan seperti biasa, solusi yang ditawarkan bersifat parsial, tidak menyentuh akar masalah dan cenderung diskriminatif. (hnr)
Pajak yang kita bayar larinya kemana yah ??? kalo gak salah ada 6 juta kendaraan ada di Jakarta, bayangkan pendapatan yang diterima Pemerintah dari sektor pajak pasti nilainya sangat besar. Tetapi nyatanya transportasi masal yg murah, aman & cepat tak kunjung tiba.
betul bro…
inilah yang membuat masyarakat makin gerah dengan peraturan yang makin diskriminatif.
Padahal, jika transportasi yang layak tersedia, masyarakat pasti akan sukarela menggunakannya. Tanpa perlu diatur dalam undang-undang sekalipun.
makanya pemda DKI jangan naik mobil mewah terus.. cobain naik angkutan umum.. asal bunyi nih foke..
baru pertama kemari…enak banget gaya nulisnya…dah kayak jurnalis beneran
pemda udh stres kali ya ga bs mecahin masalah kemacetan jkt, maunya yg instant aja…TransJakarta (TeJe) dibuat dulu tujuannya biar yg naik mobil pribadi beralih ke TeJe, ternyata ga mempan…skrg pengendara sepeda motor yg disuruh beralih ke TeJe dgn alesan sepeda motor yg bikin macet jalanan…ga mikir apa, jalan tol itu macet tiap hari apa karena sepeda motor?jalur cepat itu macet apa karena sepeda motor?ckckckckck…..ntar alih2 pengendara sepeda motor beralih ke kendaraan roda empat semua, ntar nyalahin siapa?hehehehehe….*panjang amat dah gw nulisnya :p*