Pesepeda motor di Jakarta, makin hari tampaknya makin terjepit. Bukan saja secara harfiah (berbagi jalan dengan kendaraan pribadi dan angkutan umum), tetapi juga oleh regulasi. Dari yang hanya wacana, konsep hingga implementasi yang tinggal hitungan bulan.
Berbagai regulasi itu, misalnya, pembatasan bbm bersubsidi. Intinya, pengguna motor dan kendaraan roda empat milik pribadi, akan dibatasi penggunaan bbm bersubsidi jenis premium. Caranya? Sedang dibahas, tetapi rencananya akan dilaksanakan Maret tahun ini alias bulan depan! Kedua, akan ada wilayah ERP (Electronic Road Pricing), dimana setiap kendaraan yang masuk ke jalan protokol (Sudirman & Thamrin) akan dikenakan biaya. Eit, nanti dulu, masih ada lagi amunisi yang membidik bikers. Belum puas disitu, ada pengenaan pajak progressif yang akan menggandakan nilai pajak untuk kendaraan nomor dua dan seterusnya atas nama pemilik yang sama. Untuk yang terakhir, sudah mulai berlaku. Dan wacana yang lebih kontroversial adalah pembatasan ruang gerak sepeda motor. Artinya jelas, motor tidak diperbolehkan dikendarai di jalan-jalan tertentu!
Suka atau tidak, regulasi ini mulai menggugurkan alasan orang menggunakan sepeda motor: murah, efisien dan fleksibel. Walaupun konsistensi penerapan regulasi ini masih diragukan, lambat laun, 3 faktor tersebut (murah, efisien dan fleksibel), akan mulai gugur dengan sendirinya. Sebab menggunakan sepeda motor justru memakan banyak biaya operasional. Tidak lagi hanya bahan bakar dan servis bulanan, pengguna sepeda motor juga harus menyiapkan anggaran untuk area ERP, membeli bbm kelas Pertamax (jika jatah premum habis), dan juga biaya parkir di penitipan kendaraan (Jika pembatasan ruang gerak motor diberlakukan). Efisien? Sungguh kita harus jujur. Waktu tempuh dari satu titik ke titik lainnya mulai bertambah. Contoh saja, dengan pengoperasian beberapa koridor busway baru (9 dan 10), kemacetan terjadi di sepanjang ruas jalan tersebut. Otomatis, konsumsi bbm makin boros dan waktu tempuh menjadi molor. Fleksibel? Sepertinya akan mulai hilang. Pasalnya, ketika hampir semua ruas jalan didera kemacetan, tidak ada lagi fleksibilitas memilih jalur alternatif. Lambat laun, kemanapun kita pergi, kemacetan siap menyambut. Belum lagi jika pembatasan ruang gerak sepeda motor diberlakukan. Lengkap sudah “jebakan batman” menghadang bikers.
Nah, jika sudah begini, masihkan konsumen di Jakarta memilih menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan harian? Mungkin masih. Pasalnya dengan kondisi transportasi yang tidak kunjung dibenahi secara total, pola pikir masyakat akan tetap memilih kendaraan pribadi sebagai alternatif. Ini manusiawi, normatif, sebagai bagian dari insting mahluk hidup untuk survive. Dan harus diingat, Jabodetabek adalah pangsa pasar yang menggiurkan. Data terakhir menyebutkan setiap harinya sekitar 897 sepeda motor baru bermunculan (kompas.com). Edan! Dalam waktu satu tahun saja, hampir setengah juta sepeda motor tumpah ruah ke jalanan Jakarta. Jika digabungkan dengan Bogor, Bekasi, Depok dan Tanggerang, bisa melebihi 1000 motor per harinya. Lalu bagaimana pula ATPM menyikapi situasi ini? Izinkan penulis membuat ramalan sekedarnya (Sesekali bolehlah kasih ramalan ekonomi ala blogger). 😀
Begini, [bentar, ngupi dulu bro…], dengan berbagai macam regulasi yang cenderung memberatkan, akan tiba saatnya ketika masyarakat (baca: konsumen) jengah berkendara motor. Pajak yang tinggi, bensin yang mahal dan lalu lintas yang selalu macet membuat perjalanan makin membebani. Maka, argumentasi menggunakan motor lebih murah daripada naik angkutan umum, akan sedikit bergeser. Tentu saja hal ini masih bisa diperdebatkan. Tapi anggaplah demikian. Karena dihimpit berbagai macam peraturan yang memberatkan, dan semakin membebani secara finansial, maka masyarakat akan berpikir ulang untuk menggunakan motor. Dan pertimbangkan juga faktor kecelakaan yang cukup tinggi bagi bikers. Setiap harinya, 3 orang pengendara motor tewas di jalan raya (*).
Efek dominonya, bisa saja minat membeli motor akan berkurang. Berapa banyak? Perlu bergadang satu kuartal dulu baru kita bisa tahu. 😀 Tapi mari kita ambil simulasi sebagai berikut. Jika saja penjualan motor berkurang 1 buah saja perhari, dan anggaplah itu motor bebek dengan harga 13 juta rupiah. Kalikan 25 hari (kerja). Maka, dalam waktu 1 bulan, atpm mengalami kerugian mendekati setengah milyar rupiah! Jika hal ini terjadi 6 bulan, maka kerugian mendekati dua milyar rupiah harus dihadapi oleh ATPM. Ini jelas bukan receh.
Karena intinya adalah penjualan, tentu saja harus dicari lagi sumber pemasukan alias lokasi pemasaran yang masih gress, yang masih menggiurkan. Jadi, mulailah dibidik daerah-daerah. Mengapa daerah? Ya karena untuk Jakarta ruang gerak dan excuse membeli motor sebagai transportasi harian sudah makin sempit. Titik jenuhnya sudah mulai dekat. Selain itu, daerah toh masih longgar jika bicara soal penggunaan sepeda motor. Dan “daerah” yang dimaksud bukan saja daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Depok, Tanggerang, Bogor dan lainnya. Tetapi juga kota-kota, bahkan kabupaten nun jauh di sana. 😀 Dan marketing gimmick pun berkembang untuk menggaet hati konsumen. Mulai dari uang muka yang rendah, pembagian hadiah hingga jumlah tenor (lamanya waktu kredit) yang ajegile lamanye. [sebentar, ngunyah roti bakar dulu bro…]
Konkritnya, ATPM harus ngotot menggelar “kekuatan” di ranah terpencil sekalipun. Sebagai langkah pertama, bisa saja digelar dahulu bengkel-bengkel resmi berukuran kecil, sedang hingga besar. Lalu, perlahan (bahkan berbarengan) agen penjualan digelar di lokasi yang strategis. Kalau perlu, di setiap pusat keramaian. Setelah itu menyusul (atau bersamaan) bertambahnya cabang-cabang lembaga pembiayaan. Sinerginya jelas. Mau beli motor murah? Bengkelnya siap, penjualnya sudah ok dan masalah biaya? Jangan khawatir, anda bisa pilih cicilannya. 😀 Penulis sendiri pernah menemui bengkel resmi salah satu ATPM di daerah dekat Gunung Galunggung. Padahal daerahnya cukup sepi.
Mungkinkah ini terjadi? Sangat mungkin. ATPM harus realistis melihat realitas yang ada. Yang bisa mereka lakukan adalah beradaptasi. Mencari lagi, dimana permintaan sepeda motor masih mungkin “ditinggikan”. Tentu daerah yang dilirik. Apakah Jakarta akan ditinggalkan? Tentu tidak. Selama pusat ekonomi berada di Jakarta, maka selalu ada celah untuk menggulirkan produk. Tapi tentunya lebih selektif dan segmentatif. Untuk masyarakat perkotaan, seperti Jakarta, jika ATPM jeli, mereka akan mulai menggulirkan produk premium (mungkinkah sudah dimulai sejak?). Entah itu matic ataupun sport. Motor jenis premium tentunya bukan kendaraan harian, lebih kepada gaya hidup. Dengan segmen ini, kuantitas pemasukan bisa tetap tercapai dengan kuota penjualan yang tidak terlalu besar.
Apakah dengan melakukan flanking –istilah militer untuk melakukan penyerangan dari sisi lain- di daerah, ATPM memindahkan kemacetan? Soal macet, itu pasti akan tiba dengan sendirinya. Semakin banyak kendaraan, potensi macet semakin besar. Jadi nikmati sajalah. Itu rumus yang tidak bisa dibantah.
Tetapi, langkah ATPM ini (jika benar dilakukan), akan menjadi semacam blessing in disguise bagi daerah tersebut. Karena menjamurnya Bengkel Resmi, agen penjualan dan lembaga pembiayaan, maka “gear seat” ekonomi akan mendapat “pelumas” baru. Akan banyak kebutuhan untuk mekanik, tenaga administrasi hingga sales person produk-produk ATPM. Tak lupa lulusan berspesifikasi khusus yang dibutuhkan oleh lembaga pembiayaan dan bengkel. Dan tidak berhenti sampai di situ. Jika tren marketing di daerah ini terjadi, akan memicu pula kesempatan usaha di bidang aftermarket. Mulai dari toko assesoris motor, riding gear hingga bengkel modifikasi. Bisa saja, banyak pengusaha menambah, atau banting setir usaha berkaitan dengann berusaha di bidang otomotif. Intinya, meledaknya populasi sepeda motor di suatu daerah, merupakan pemicu kegiatan ekonomi lainnya.
Sisi negatifnya, pasti hampir bisa ditebak. Pelan namun pasti, akan terjadi penumpukan arus kendaraan alias macet. Lalu bersiap pula menghadapi tren pencurian motor. Dan last but not least, angka kecelakaan yang meningkat. Nah, kecelakaan bersepeda motor ini bisa terjadi dalam tingkatan yang “memukau” jika praktek korup pengajuan SIM (surat izin mengemudi) masih terjadi. Begitu juga jika penegakan hukum di jalanan masih lemah serta minimnya perbaikan infrastruktur dan edukasi pendidikan berkendara ke calon konsumen. Tapi untuk edukasi, celah ini sebenarnya bisa dimanfaatkan ATPM dengan packaging CSR (corporate social responsibility) melalui pengembangan komunitas/klub.
Pertanyaanya, apakah para pemerintah daerah di luar Jakarta memilih mengikuti jejak Jakarta, atau berani tampil beda? Menerima begitu saja meledaknya populasi sepeda motor, dan menikmati pendapatan daerah yang wah. Atau, membatasi pertumbuhan sepeda motor, dan lebih memilih membenahi transportasi massal.
So, teori ala blogger ini, mungkinkah terbukti? Mungkin saja. Pasalnya, penulis mendapat tip off bahwa beberapa lembaga leasing sudah mulai “bersemangat” membuka cabang secara progressif di beberapa daerah pinggiran. Paling tidak, indikasi ke arah itu mulai terlihat. Dari sisi korporasi, ini wajar dan sah. Seorang pakar marketing (yang bukan orang Indonesia) pernah bilang, Company Saved Not By Campaign. But By Sales. Jadi bagaimanapun, adalah penjualan yang mampu menghidupi perusahaan.
Jika benar semua regulasi yang, mengatasnamakan kepentingan publik, dijalankan secara konsisten, maka lambat laun, Jakarta bukan lagi tempat yang ideal untuk menjajakan sepeda motor untuk transportasi harian. Dan ini tentu saja akan berimbas kepada orientasi penjualan ATPM. Daerah lah yang menjadi sasaran empuk ATPM. Jakarta dan kota besar lainnya akan tetap digarap dengan produk yang lebih tersegmentasi. *lirik CBR250*
Demikian analisa ala blogger non ahli ekonomi. Mohon jangan dikonfrontir dengan Faisal Basri, Rhenald Khasali atau Hermawan Kertajaya. Bisa berabe dah. 😀 Monggo pendapatnya.(hnr)
*Rusyanto, Edo (2010). Hiruk Pikuk Bersepeda Motor. Jakarta: Penerbit Tristar Kreasi.
kembalikan sepeda motor sebagai hobby, bukan kebutuhan harian..
babat habis rider sruntulan..!
baca lagi ben… jualan bebek tuh mesin uang atpm…
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
http://catatansipejalan.wordpress.com
motor bagiku kendaraan utama yang tak tergantikan angkot.. ngojek mahal bro..
@joko, nah ini dia, salah satu argumentasi yang tak terbantahkan, hingga saat ini…
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
http://catatansipejalan.wordpress.com
nitip lapak bro:
Menahan Godaan Motor Baru dengan Menabung
http://bennythegreat.wordpress.com/2011/02/25/menahan-godaan-motor-baru-dengan-menabung/
Tul betul Betul….kalo dari Rumah nyampe kerjaan terus pulang kerumah lagi sama dengan harga setengah liter shell super xtra, naek umum dah…
curhat..
berangkat siang jam 12:00….harus nyampe jam 14:00..ngangkot(4000)…1 jam setengah…busway(3500) satu jam lima belas menit..dua-duanya plus jalan kaki 20 mnt dari halte… telat…(berangkat awal solusinya)
Pulang Malam jam 00:00…Yang ada omprengan tiga kali naek turun total 9000 perak..nunggu omprengan bisa 10 mnt sambil ngetem per omprengan, jalan dari tempat kerja ke halte 20 mnt lagi…. sampai rumah jam???????
total pengeluaran ongkos siang malam ????? ahhhh Super Xtra setengah liter 4rebu sekian…berangkat 35 menit, pulang 20 mnt ( Malem bisa manteng di 60-70kpj)…so gimana ???
angkutan umum = lama, ga efisien, biayanya lumayan [tergantung jenis angkutannya]
motor = cepat, praktis, biaya relatif murah… [tergantung jenis motornya]
@cicak merah, berarti semuanya serba tergantung ya bro? yakin semua regulasi gak membebani? monggo pendapatnya…
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
http://catatansipejalan.wordpress.com
ulasan yg luas benar… Logis Om
ada yg bilang, filosofi naik motor saat ini bukan untuk cepat-cepat sampai tujuan, tapi tiba dengan selamat ditujuan.
@om Edo, itu jika dapat sim nya sesuai aturan. Tapi kalo nembak? gmana tuh om?
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
http://catatansipejalan.wordpress.com
mantap ulasannya bro
saatnya menabung jual aset mungkin sambil melihat2 tempat di pinggiran…
Siapa tahu ngajuin proposal bikin dealer di setujui 😀
operasional dealer perbulan jg ga tanggung2 gaji karyawan minimal 15 orang.. Maintenance gedung dan lain2
sumbangan2.. Wah aje gile
blm stok motor dll…
Perlu modal smpe 100 M ga ya?
Plg enak di awali dg dealer motor bekas.. Yg lambat laun mengakuisisi ruko sebelah dan mengajukan proposal ke salah satu atpm pinjeman bank dapet, suntikan dana segar pabrikan ada.. Nama dan brand dealer sudah di kenal masyarakat…
Kipas..kipas uang 😀
sayang hanya mimpi T.T
betul bro… dengan penetrasi pasar yang (sudah) mulai difokuskan ke pinggiran/daerah, makan terbuka peluang usaha… yah salah satunya dealer… mulai dari yang kecil, nanti lama-lama nyamber deh… hehehe…. kenapa cuma mimpi? dengan kerja keras, pasti bisa diwujudkan bro…. selamat berusaha….
smart bastard!
https://bodats.wordpress.com
http://catatansipejalan.wordpress.com
bener tuh kayana ATPM udah bidik pasar daerah dari lama, mengingat kondisi jakarta yang sudah tidak memungkinkan, contoh gampang ada dealer baru yang keren, matep n gede pula didaerah cipayung puncak,cabang salah satu atpm. padahal kalo beberapa waktu lalu pergi kepuncak susah bener cari bengkel resmi….
bisa2 dealer resmi (bengkel) di daerah bakalan kaya toko retail waralaba (Imaret n Amaret) yang tiap gang ada n bikin warung2 kecil gulung tiker…..karena pemdanya lebih suka duit daripada nasi…
*kasian si mang ujang, tokonya mulai goyang….ko jadi curhat….
abis ini baca ulasan yang mana lagi yaaaa….