KETIKA ALAS ROBAN MENYAMBUT OBIWAN

*Tulisan ini merupakan rangkaian artikel touring OBI ke Semarang,  untuk menguji kekuatan sinyal XL sepanjang Pantura. Perjalanan ini dilakukan dari 23-24 Juli 2011*

Two is one, one is none”, adalah kutipan dari dialog film “GI JANE” yang dibintangi oleh Demi Moore. Film yang mengisahkan perjuangan seorang perwira wanita angkatan laut Amerika, untuk menjadi anggota kesatuan elit: NAVY SEAL. Kata-kata tersebut diucapkan oleh salah seorang instruktur SEAL. Maksud sang instruktur cukup jelas; siapkan segala perlengkapan dan peralatan kemanapun misinya. Mungkin, kata-kata tersebut yang cocok menggambarkan bagaimana persiapan obiwan merencanakan perjalanan jauh, disertai perlengkapan berkendara yang baik membuahkan hasil.

Jumat (22/07) malam, usai mampir ke “gubuk” bro Yudi (demikian bro Yudi menyebutnya), dan menikmati kopi (super mantab) serta beberapa porsi martabak telor, obiwan yang tersisa melanjutkan perjalanan. “Bro, nanti kalau ketemu truk dan bus yang sembrono dan nekat, ngalah saja yah. Itu memang daerah kekuasaannya. Yang penting tiba selamat di Semarang.” Ujar bro Yudi mengingatkan penulis dan obiwan lainnya. Dengan formasi Rial, Marlin, Adi, Edo dan penulis sebagai sweeper (nasib punya mesin 250cc :D), obiwan melanjutkan perjalanan. Tidak ada yang bakal mengira, bahwa Alas Roban punya kejutan untuk kami.

om Edo, bersiap menghadapi hujan di Alas Roban

Semua diawali ketika memasuki kawasan Alas Roban, group riding obiwan harus berjibaku dengan truk dan bus yang berlagak ala raja jalanan. Manuver-manuver “mahluk malam pantura” ini sungguh tidak bisa dipandang remeh. Dengan jalan raya minim penerangan, kontur pegunungan, kami pengendara roda dua bagaikan semut diapit gajah-gajah liar.

“Kayaknya cuma hujan gerimis deh.” ujar Rial saat obiwan berhenti sejenak menyikapi butir-butir air yang mulai jatuh membasahi bumi. Akhirnya disepakati untuk terus berjalan. Tetapi tidak sampai 3oo meter berkendara, hujan mulai deras. Dan obiwan pun langsung menepi, dan tanpa komando, langsung mengenakan jas hujan masing-masing. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan.

Saat tengah berkonsentrasi melewati siraman air hujan di kawasan yang terkenal rawan kecelakaan itu, penulis langsung berpikir, inikah rute yang dilewati oleh jutaan pemudik tiap tahunnya itu? Sungguh tinggi semangat para pemudik tersebut, hingga rela melewati jalur seperti ini. Mengendarai sepeda motor, dengan beban berlebih, di sela-sela kendaraan besar, bukanlah hal yang layak dicoba, kecuali anda penggila petualangan. Tapi saya yakin, pemudik akan melupakan ini semua, jika mengingat untuk kangennya kepada kampung halaman. Masih mau mudik naik motor? Mudah-mudahan tidak.

Hujan pun mulai deras. Demi topan dan badai! Alas roban benar-benar memberikan “pelayanannya”. Kembali, kemampuan obiwan sebagai pengendara roda dua diuji. Malam pekat, arus truk dan bus yang padat, kontur pegunungan, diserta hujan deras yang membuat jarak pandang pendek (5-10 meter), jelas bukan remeh temeh. “Otak, otot dan nasib”, slogan yang saya kenal saat menggeluti dunia pendaki gunung di era SMA dan kuliah kembali menerjang batin. Adrenalin mulai terpompa, otak dipaksa bekerja hingga batas maksimal, sementara otot harus mengerahkan semua kemampuannya untuk handling motor. Refleks mungkin sudah mulai berkurang, mata mengantuk, tetapi ada satu tujuan yang harus dicapai. Yah, kota Semarang, harus dicapai malam ini juga. Tidak ada pilihan lain, selain mengendarai motor di tengah hujan deras. I think it’s not a riding anymore, it’s an adventure.

Sempat beristirahat sejenak, sebelum dihampiri hujan kembali.

“Kalau hujan, lu guide gue dats. Mata gue kurang awas kalau udah malam.” Itulah kata-kata om Edo , blogger senior, saat kami berhenti di spbu beberapa saat sebelum memasuki Alas Roban. Dan tugas saya menjadi guide om Edo semakin berat. Apalagi ketika kami terapit di tengah-tengah truk dan bus. Belum lagi redbastard (demikian Ninja250R milik saya dinamakan) selalu menahan raungan mesin di rpm tengah, seakan menagih untuk menambah akselerasi. Tapi apa boleh buat, safety first, demikian pikir saya. Redbastard pun dengan sabar mengikut kemauan tuannya, berkendara dengan santai di tengah hujan Alas Roban.

“Brakk!!” tiba-tiba saja om Edo hampir jatuh menabrak sebuah lubang. Saya yang hanya berada kira-kira 4 meter di belakangnya, menghindar pelan. Untungnya, kecepatan kami hanya berkisar 30-40 km/jam. Maklum, semua bus dan truk pun berjalan pelan saat kondisi hujan. Dan saat itu tidak ada kendaraan di samping kami.

“Lubang Dat!” ujar om Edo sambil melanjutkan perjalanan. Terpaksa saya berkendara di depan wartawan salah satu media Jakarta ini. Di sini saya agak sulit memantau keberadaan om Edo. Saat mengecek spion, saya tidak bisa memastikan, sinar lampu yang saya lihat, berasal dari motor Byson miliknya, atau justru bis di belakangnya. Feeling saya mengatakan, om Edo berada satu garis lurus di belakang saya. Mungkin untuk menghindari lubang. Dan benar saja, setelah menggeser posisi, saya bisa melihat sinar lampu depannya.  Sejak itu, kami berdua bagaikan dua pilot tempur memainkan formasi Follow The Leader, sebuah formasi bagi pilot tempur, dimana wingman (penerbang pendamping) mengikuti setiap gerakan flight leader. Perlahan namun pasti, om Edo mengikuti manuver-manuver saya melewati truk demi truk, bus demi bus. Bergantian, saya menggunakan lampu sein, foot signal atau bahkan handsignal untuk berkomunikasi dengannya. Ada kalanya saya mesti masuk lebih dalam di sisi jalan, agar om Edo bisa mengikuti overtaking yang saya lakukan. Beberapa kali saya menyalib truk/bus, om Edo tidak mengikuti. Ada juga saat dimana saya dan om Edo benar-benar tidak punya ruang gerak, karena “dikepung” oleh truk dan bus. Completely Spaceless.

“Focus on the getaway path, not on the obstacle.” Kata-kata Jerry “motorman” Palladino, sang instruktur motor kenamaan, menyemangati saya untuk tetap berkonsentrasi menjaga ritme berkendara, menjaga jarak, memonitor keberadaan om Edo dan mencari peluang yang safe untuk melewati truk dan bus di depan kami. Perlahan namun pasti, kami mulai melewati rombongan truk dan bis yang terseok-seok menggarap tanjakan. That was one tough multitasking job!

Lepas dari rombongan truk dan bus, kami berdua, di tengah hujan deras dan pekatnya malam di Alas Roban, masih terus melakukan formasi Follow The Leader. Mohon maaf, teori group riding tidak bisa sepenuhnya digunakan di sini. Jika om Edo berkendara dengan sistem staggered, di belakang saya, mungkin dia akan kembali jatuh ke lubang. Sebagai leader, saya berusaha membaca alur dan kontur jalan, dan menahan kecepatan di 40-50 km/jam. Seakan membaca gerakan saya, om Edo konsisten mengikuti riding line saya selama di alas Roban. Good job bro!

Entah kenapa, sesaat meninggalkan Alas Roban, hujan mulai reda. Saya jadi berpikir-pikir, “is this a ‘welcome drink’ Alas Roban has prepared for  us?”  Pengalaman mendaki gunung, mengajarkan saya satu hal; to deal with mother nature, is to adapt and improvise, not to against it. Tanpa sadar, itu yang tengah kami lakukan. Hujan, kontur pegunungan berliku, penerangan yang minim dan tingkat bahaya yang tinggi, kami berlakukan sebagai tantangan. Solusinya? Gunakan semua tehnik untuk beradaptasi dengan lalu lintas semi kacau, dan syukurilah hujan sebagai karunia Tuhan. 😀

“Om, ngantuk gak?” ujar saya kepada om Edo saat kami tengah berhenti di lampu lalu lintas, di persimpangan kota Kendal. “Iya nih, gue agak ngantuk. Tapi kita harus sampai di Semarang malam ini. OK?” Ujar pria berkacamata itu semangat. “Eh, tapi lu tetap di belakang gue yah?!” ujarnya kemudian. Saya mengacungkan jempol sebagai tanda sepakat. Dengan tetap menggunakan raincoat, kami melajutkan perjalanan. Sebelumnya, kami sempat berhenti sejenak mengecek keberadaan posisi OBIwan lainnya dengan hape menggunakan aplikasi google latitude. Jujur, sinyal XL masih tertangkap dengan kuat. Informasi di Latitude menunjukkan bahwa saya dan om Edo berada di urutan paling belakang. Semua OBIwan sudah mendekati, atau berada di Semarang.

Melewati kota Kendal yang sunyi, adrenalin mulai mengendur. Beberapa kali saya menguap, sambil sabar membuntuti om Edo. Sesekali saya “nakal” meninggalknnya beberapa ratus meter di belakang. Maklum, redbastard sudah menagih di rpm tinggi. Setelah itu, om Edo kembali memimpin. Di tengah gerimis dan angin sejuk, akhirnya setelah 21 jam berkendara, kami tiba di Semarang melalui Simpang Lima. Saat berendam air panas di kamar mandi hotel, saya kembali tersenyum mengenang kegiatan sehari penuh ini. Semuanya mengandung makna tersendiri. Dari kemacetan tak kenal ampun sepanjang Bekasi-Tambun, jalur mulus maknyuss sepanjang Pantura hingga “welcoming party” ala Alas Roban. Damn, that was fun!(hnr)

Iklan

16 comments on “KETIKA ALAS ROBAN MENYAMBUT OBIWAN

    • @virus, thanks brada…
      @mas tri, xixixix gak sempet potoh, hujan deres euyy…
      @sabdho, betul bro, kepepet.com 😀

  1. ternyata Byson kuat… nabrak lubang juga nggak apa-apa… !!! Ada penampakkan nggak bagaimana bentuk byson bro edo… setelah nabrak lubang …???

  2. welcome to the alas roban 😀 Sorry saya gak bisa ngawal sampe semarang… patut disukuri masih diberi kesempatan “menikmati” jalanan alas roban… untuknya gak ada penampakan mbak Kunti..xixixii.. 😀

Tinggalkan Balasan & Jangan Tampilkan Link Lebih Dari 1.

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s