Okay, ini ada kejadian menarik yang saya alami Senin (16/12) malam. Malam itu, rencananya hendak menikmati secangkir kopi dengan rekan dari KHCC, bro Windu alias Papoy. Sekedar mengobrol, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Di salah satu ruas jalan daerah Kalimalang, Jakarta Timur, saya hendak memutar balik, tetapi saya tidak melihat rambu larangan memutar balik alias u-turn. “Oi, jangan mutar balik,” selintas saya dengar suara pengendara di belakang mencoba untuk memeringatkan. Tapi apa daya, motor sudah dalam posisi berbelok. Dan si petugas pun sudah siap menghadang di depan. Saya pun menepi.
“Silahkan parkir di sini mas,” ujar sang petugas polisi meminta saya memarkir di atas trotoar.
“Maaf, pak. Ini kan trotoar,” jawab saya.
Petugas polisi tersebut sempat kelihatan canggung. Lalu berkata, “Oh ya sudah, boleh juga di situ,” ujarnya merujuk posisi di pinggir jalan. Jujur, saya agak malu juga kurang waspada melihat rambu lalu lintas. Entah karena sudah lelah, entah karena sudah malam. Tapi ya sudahlah, harus siap ditilang. Wong bikin kesalahan kok. Demikian pikir saya dalam hati.
Nah, saat itu, sang Polantas, seorang bapak yang sepertinya berumur di atas 40 tahun, dengan rambut yang sudah beruban, meminta surat-surat kelengkapan. Saya berikan SIM C yang masih berlaku dan STNK (surat tanda nomor kendaraan). Karena merasa bersalah, yah sikap saya sih biasa saja. Tidak ada niat membela diri.
“Mas tahu apa kesalahannya?” tanya si petugas.
“Saya tidak lihat ada rambu dilarang memutar pak. Tetapi ya sudah, saya mengaku salah. Silahkan deh saya ditindak sesuai dengan UU No.22 tahun 2009.” ujar saya. Karena cukup sering membahas undang-undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan tersebut dengan om Edo, maka kata-kata “Undang-undang No.22 Tahun 2009” terucap secara otomatis.
“Betul. Di situ tidak boleh memutar balik, ada rambunya. Lain kali harus waspada.”
“Ok, siap pak. Saya ngaku salah deh.”
Si petugas lalu melihah surat-surat kendaraan saya, keningnya agak mengerut sebentar. “Eh, ini jadi enaknya gimana. Mau diproses, atau titip?” ujarnya tiba-tiba.
Di sinilah saya agak kaget dan juga tersingung. Sudah ngaku salah, gak neko-neko, kok masih saja ditawari damai? Aneh.
“Maksud bapak, damai gituh?” tanya saya memerjelas.
“Yah tergantung si mas. Maunya gimana.” jawab si bapak lagi.
Karena perut sudah lapar, dan sudah tidak lagi ingin berpanjang-panjang, maka saya berikan pernyataan sebagai berikut. “Bapak yang baik. Coba deh bapak perhatikan spatbor belakang saya. Ada logo komunitas motor saya di situ, lengkap dengan nomor registrasinya. Jadi, komunitas kami, sudah beberapa kali berpartisipasi dalam kampanye keselamatan dan ketertiban lalu lintas dengan pihak Ditlantas Polda Metro Jaya. Jadi, saya gak akan damai sama bapak. Itu sama saja saya menodai kesepakatan dengan korps bapak toh? Silahkan tilang saya saja pak. Saya siap patuh hukum kok.” ujar saya. Walaupun berbicara dengan tenang, otak di kepala langsung berpikir bahwa saya bakal repot menghadiri sidang, antri, sabar dari godaan calo dan lain-lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Tinggal dikecapin saja toh? plus tambah kerupuk tentunya. Jadinya, disyukuri saja.
Si petugas pun menjawab, “Wah iya, pak Dirlantas juga sering mengatakan…..” sisa suara pak polisi tersebut tidak lagi terdengar oleh saya karena bisingnya suara lalu lintas di sekitar kami. Dan mendengar ocehan ini, tingkat kelaparan saya mulai naik ke level kronis krisis bin darurat.
“Bapak, sekali lagi, saya tidak akan damai dengan bapak. Saya mengaku salah, saya tidak akan berdebat dengan bapak. Monggo, tilang saya sesuai dengan UU. No.22 tahun 2009,” kembali saya menegaskan hal tersebut.
Si petugas seakan bingung. Saya pribadi, tidak takut sedikitpun. Yah, sudah pasrah dari awal. Tapi di luar dugaan saya, tanpa banyak bicara, petugas tersebut langsung menyerahkan SIM C dan STNK sambil berkata, “Ini sudah saya kasih loh mas. Yah kalo mas-nya mau kasih uang kopi dan ikhlas, yah monggo. Kalau tidak, yah gak apa-apa.”
“Loh, kalau bapak mau ngopi, bareng saya saja pak. Ada tempat ngopi enak di sana.” ujar saya sambil menunjuk ke arah yang saya tuju.
“Wah ndak bisa mas. Sampeyan monggo aja lanjut. Tapi yah itu, kalo mau ngasih yah terimakasih. Kalo gak, gak apa-apa juga.”
Saya berpikir sejenak. Ah sudahlah, saya tidak mau ambil pusing. Saya pun menyalam beliau tanpa menyelipkan uang sepeser pun. “Terimakasih pak. Lain kali saya akan berhati-hati,” ujar saya.
“Yo wis mas. Jangan diulangi lagi yah,” ujarnya sembari kembali mengatur lalulintas.
Dan saya pun melanjutkan perjalanan ke sebuah warung penjaja makanan tidak jauh dari tempat saya nyaris ditilang. Saat memesan makanan, ada kegundahan. Kenapa si pak polisi tidak mau menilang? Apa karena saya mengerti Undang-undang? Atau karena memang niatnya sudah tidak benar dari awal, ingin cari sampingan? Ah, entahlah. Tetapi agak miris jika dugaan terakhir jadi kenyataan.(hnr)
Polisi harusnya menjadi garda terdepan menegakkan hukum di jalan raya, karena dari situlah efek jera diharapkan timbul untuk mengurangi ketidaktertiban berkendara. Tapi apa boleh buat, budaya permissif dan koruptif rupanya masih tersisa. Pekerjaan rumah yang tampaknya masih panjang untuk diputus mata rantainya.(hnr)
Saya juga pernah di daerah Ahmad Yani Bekasi lupa nyalain lampu depan, disuruh ke Pos. Yaudah ngaku salah, minta maaf dan kasih alasan motor belum AHO tadi habis beli bensin lupa hidupin. Mau ditilang tapi saya gak mau karena jauh dari rumah (di Pluit). Akhirnya itu Polisi minta uang bensin aja seikhlasnya, karena alasan saya tadi baru aja beli bensin -_-
Tapi pas mau ngasih 5000, eh malah ditolak katanya gak usah. Yang penting saya udah ngaku salah dan disuruh jangan ulangi lagi. Yaudah deh jalan aman gak ditilang… Pas mau keluar Pos gak lupa minta maaf dan cium tangan 😀
Wah yang may ditilang sudah pasrah kok malah batal ..
wha ha jossss.
harusnya balik lagi bro, bawain kopi
wah belangnya ketahuan
Nah gitu nulis dong jng nunggu undangangan dan pinjamana *eh keseplozan disengaja 🙂
wah bisa ditiru nih