Brebes, pukul 2 sore, pertengahan 2012 lalu. Matahari memberikan sinarnya yang maha terik. Saya yang tengah menempuh kecepatan 70-80 km/jam, langsung mengurangi kecepatan saat melihat antrian kendaraan di depan. Ratusan kendaraan berjejer rapi bagaikan mobil di tempat parkiran. Mulai dari minibus, sedan, truk trailer hingga bis antar kota, para “penghuni tetap” jalur pantura. Kali ini, saya tertinggal OBIwan yang sudah terlebih dahulu menuju Semarang.
“Ayo pak ikut saya, lewat kanan saja, ada jalur!” ujar seorang tukang ojek meminta saya untuk mengikutinya. Saya pun mengikutinya. Baginya, yang mengendarai motor bebek, sungguh mudah menyelip diantara truk dan bus serta kendaraan lainnya yang tengah berhenti. Tetapi tidak bagi saya, yang kebetulan sedang menunggang redbastard, julukan saya untuk si merah kawasaki Ninja250R. Body yang lebar, disertai spion yang lebar pula, membuat saya harus melakukan perhitungan super cepat namun tepat di sela-sela kendaraan besar ini. Setelah saya ikut si pengojek tersebut, ternyata, ia justru melawan arus, dengan berkendara di sisi lajur yang lain. Sungguh saya hanya bisa menggelengkan kepala. Melakukan kontra flow di luar kota, saat jalanan sedang macet? bad idea.
Akhirnya saya terpaksa kembali lagi ke “barisan” antrian. Menyempil sejenak, dan sempat terjebak diantara truk dan bus (lagi). Sempat juga selama lima menit, tidak bisa keluar dari himpitan tersebut. “Panjangnya sekitar tiga kilometer!” ujar seorang supir truk ketika saya tanyakan perihal antrian kemacetan tersebut. Mendengar itu, saya langsung berpikir, bagaimana caranya bisa melewati kemacetan itu, tanpa perlu melakukan pelanggaran, atau kebodohan yang bisa mengakibatkan motor atau saya sendiri mengalami kecelakaan. Saya pun memutuskan untuk menepi sejenak, mengamati keadaan.
Sejauh mata memandang, antrian kendaraan seakan tak terurai. Jalan dua jalur itu disii oleh ratusan kendaraan memanjang jauh ke arah Brebes. Sementara, ruang diantara mobil-mobil besar tersebut terbilang sangat sempit. Bahu jalan terdiri dari medan berkerikil dan sedikit berbatu. Saya pribadi ragu, mampukah melewati kemacetan itu dengan redbastard?
Belum selesai menganalisa, saya lihat tingkah laku pengendara lokal yang berusaha menyiasati kemacetan tersebut. Kebanyakan dari mereka melipir bahu jalan, lalu masuk lagi ke tengah barisan, dan menghilang. Lalu beberapa puluh meter kemudian, muncul di sisi yang sama, mengulangi taktik yang sama. Melihat kondisi ini saya kembali berpikir, Mungkinkah saya mampu melakukan manuver seperti mereka? Mengingat dimensi Ninja250 tidak seperti bebek yang cenderung kecil dan lincah di kemacetan. Belum lagi dengan medan berkerikil, dimana Ninja250 tidak didesain untuk menaklukannya. Beberapa kali saya melihat pengguna motor sport atau bebek, harus menurunkan kakinya karena ban motor slip. Bahkan ada yang nyaris jatuh, karena terlalu cepat membawa kendaraan di atas medan berkerikil.
Lalu, pikiran saya teringat akan satu tehnik yang pernah saya pelajari dari video Jerry “motorman” Palladino, seorang instruktur sepeda motor gede asal negeri Paman Sam. Dia mengatakan, “Never forget to use your friction zone. It’s the best way to control your motorcycle in low speed and when want to make a tight manuver.” Friction Zone adalah sebuah teknik dimana pengendara motor berkopling melakukan pengendalian terhadap laju kendaraan dengan mengkombinasikan kopling, gas/akselerasi dan juga rem belakang. Pengendara hanya memutar gas sedikit saja, sampai terasa motor ingin maju. Lalu kopling dilepas pelan-pelan. Agar motor tidak meluncur tanpa terkendali, tekan dengan lembut rem belakang. Hal ini bertujuan agar akselerasi bisa dikontrol.
Mulailah saya menjalani bahu jalan yang berkerikil. Was-was juga sih. Pasalnya selain dimensi motor yang agak gambot, profil ban yang digunakan juga terhitung soft compund. Artinya terhitung lunak, dan tidak didesain untuk menjamah medan berkerikil. Tapi apa boleh buat, kemacetan ini harus diterobos.
Dengan menggunakan tehnik friction zone, saya menapaki jalur kerikil ini. keseimbangan saya jaga dengan melihat jauh ke depan, dan mengontrol akselerasi. Tehnik ini terbukti mampu meningkatkan rasa percaya diri saya. Motor tetap bisa dikontrol, dan traksi ban terasa cukup mantab. Namun tiba-tiba saja di depan saya, sebuah truk kecil nekat memasuki bahu jalan. Akibatnya, jalur saya pun terblokir. Apa boleh buat, terpaksa deh masuk lagi ke antrian mobil. Saat seperti inilah saya berharap sedang mengendarai si blackbastard alias bebek karisma J . Dengan sabar, saya memasuki sela-sela diantara mobil, truk dan bus. Tidak mudah memang. Beberapa kali harus maju-mundur agar saya bisa masuk ke ruang yang sempit tersebut. Deg-degan juga ketika diapit dua truk, dan keduanya berjalan pelan-pelan. Klakson saya bunyikan sebagai bukti kehadiran saya di tengah-tengah truk dan bus tersebut. Saat terhimpit itu, ada keraguan. Perlukan spion ini saya lipat? J Terasa ada godaan si mahluk kecil bertanduk merah yang mengatakan kepada saya untuk melipatnya. Tapi saya yakin mampu melewati kemacetan ini tanpa perlu melakukan hal konyol itu.
Semuanya kembali kepada pola pikir. Ini adalah situasi macet. Jadi camkan itu! Apapun yang anda lakukan, tidak bisa membuat perjalanan menjadi lancar. Yang bisa dilakukan hanyalah “bekerja sama” dengan pengendara lain, agar bisa melewati kemacetan tanpa perlu mengorbankan orang lain, atau diri sendiri. Nah saat berjuang menembus kemacetan, ada sedikit trik yang saya temui. Lalu ada lagi rintangan. Saya harus melewati jalur sempit antara truk dan trotoar di sebelah kiri. Motor jenis bebek dan skutik aman-aman saja melewati jalur sempit tersebut. Tetapi kebanyakan motor sport tidak pede, dan memilih melintas di atas trotoar. Hati kecil saya berkata, masak sih harus merampas hak pejalan kaki? Entah darimana logika dan daya nalar saya mulai bekerja. Ok, bagian bawahnya memang sempit, tetapi bagian atasnya kan tidak terlalu. Toh cuma di bagian kanan badan truk atau bus, tetapi di sebelah kiri, hanya trotoar. Artinya spion dan body redbastard akan aman. Untuk bagian bawah seperti roda dan lainnya, saya perhatikan, toh tidak begitu banyak perbedaan antara motor saya dan motor lainnya. Dengan “teori” baru tersebut, saya beranikan diri berkendara melalui ruang sempit itu dan, yihaa! Teori saya terbukti. Bagian bawah motor ninja250r yang saya tumpangi benar-benar muat diantara badan truk dan trotoar. Spion kiri memang “menyeberang” ke trotoar, tetapi spion kanan aman terkendali. Dan akhirnya, dibantu dengan tehnik Friction Zone, dengan pede, saya menyusuri jalur-jalur sempit tersebut.
Selanjutnya sudah bisa ditebak. Saya mulai “bersenang-senang” memainkan tehnik friction zone melakukan manuver-manuver sempit dalam kecepatan rendah. Beberapa kali melihat pengendara motor bebek tergelincir dan nyaris jatuh. Memang tidak mudah mengontrol motor di medan tanah dan berkerikil. Sembrono sedikit saja, bisa-bisa “masuk” ke kolong truk. Walau badan ini lelah, berkeringat dan ingin sekali rebahan, tetapi konsentrasi harus tetap terjaga. Yah, beberapa kali spion harus menyentuh body truk dan bus. Tetapi tidak sampai menyebabkan lecet.
Kurang lebih 1 jam setelah memulai perjalanan memasuki kemacetan di Brebes, saya mulai menemukan titik terang kemacetan. Penyebabnya adalah perbaikan jembatan yang mengharuskan arus kendaraan bergantian menggunakan jembatan. Hal ini menyebabkan antrian kendaraan yang panjang. Pfuihh…. Akhirnya saya melewati antrian kemacetan yang jadi mimpi buruk pengendara jalur Pantura ini.
Setelah melewati kemacetan, saya pun berhenti di depan SMA 2 Brebes. Dengan menyeruput minuman segar yang sedari tadi berada di tank bag, sedikit melakukan refleksi atas pengalaman yang baru saja saya lalui. Terbukti, jika kita mengetahui tehnik yang benar, dan bisa mengaplikasikannya pada kondisi yang tepat, maka hambatan berkendara apapun bisa dilalui tanpa harus melanggar aturan dan etika berkendara.
Nah yang menarik adalah ketika saya mengecek Google Latitude untuk mengetahui posisi teman-teman yang lain. Asumsi saya, mereka sudah jauh di depan karena saya paling belakang. Tapi saat saya sedang melihat layar ponsel, muncul si Rial Hamzah. Lah makin bingung saya. “Dat, anak-anak masih di belakang. Tadi pada tidur!” ujar mahasiswa hukum itu. Saya pun terdiam. Padahal tadi salah satu alasan saya menembus kemacetan dgn susah payah adalah untuk mengejar ketertinggalan. Ternyata malah pada tidur! Dasar OBIwan! ****uk! :p
Selap selip diantara truk… Seru seru sekaligus serem…
ngeri-ngeri sedep…
“Semuanya kembali kepada pola pikir. Ini adalah situasi macet. Jadi camkan itu! Apapun yang anda lakukan, tidak bisa membuat perjalanan menjadi lancar. Yang bisa dilakukan hanyalah “bekerja sama” dengan pengendara lain, agar bisa melewati kemacetan tanpa perlu mengorbankan orang lain, atau diri sendiri.”
gw suka potongan kalimat ini
Koreksi cuk, SMA Negeri 2 Brebes yang bener. Ngapain berhenti disitu 😛 xixixi…
huahaha…. nungguin OBIwan cuk! Lah tahunya masih pada di belakang. Asuuu tenannn 😀
oh ini yg pulangnya lecet lecet itu ya 😀 *ngikikgulungkoming
manggut manggut…
http://thegreenblog.net/2014/09/24/sepeda-motor-ac15-tahun-1997-collectors-edition-seharga-rp-165jt-nongol-di-indonesia-international-motor-show-iims-2014/
wahhh perlu di pelajari teknik seperti itu bang,…