Monorail Gagal, Jalan Tol Siap Dibangun. Tanyakan Kenapa…

Kalau sudah begini, Mau dibangun jalan lagi di atasnya?

“Dat, emang bener mau dibangun jalan tol lagi di Jakarta? Dimananya lagi sih? Duh, nanti palingan macet lagi dah, mumet dah nih kota. Bukannya angkot dibagusin, busway diperbanyak, malah jalan tol dibangun mulu. Bang**t bener nih pemda, gak mikirin rakyatnya. Mikirin proyek aje.” Kalimat di atas adalah penggalan diskusi saya dengan seorang kawan, seorang biker, yang saban hari melewati dan “menikmati” lalu lintas Bekasi-Jakarta.

Apa iya, membangun jalan tol adalah solusi kemacetan? Kalau menurut penulis, justru itu tidak menyelesaikan apapun. Pembangunan tersebut akan memberikan kesan banyakmya ruang kosong untuk berkendara, mendorong orang untuk menggunakan/membeli kendaraan pribadi. Siapa yang bisa menjamin, kemacetan akan berkurang dengan banyaknya jalan raya yang dibangun? Yang jelas bukan ane bro, ane gak punya sertifikat tanah atawa rumah untuk jadi jaminan. Ada sertifikat kursus noh bro. Baca lebih lanjut

Iklan

Masihkah kita butuh motor bebek?

“Produk yang baik, adalah produk yang mampu memberikan nilai tambah bagi pembeli/konsumennya.” Begitulah kira-kira ucapan seorang pakar marketing yang pernah penulis dengar. Sungguh tidak mungkin konsep ini tidak digunakan dan dipraktekkan oleh para produsen, terutama produsen otomotif, dalam hal ini roda alias sepeda motor.

Dulu, kampanye marketing sepeda motor selalu diselingi jargon “hemat bahan bakar dan nilai jual kembali yang tinggi.” Kini, jargon itu mulai terhapus. Kata-kata “hemat” mulai digantikan dengan “efisien”. Dan istilah mesin yang kencang, mulai digantikan dengan istilah “responsif”. Pasalnya, hampir semua produsen selalu menggunakan jargon yang sama. Terserah siapa yang memulai, pastinya yang lain akan mengikuti, walaupun dengan cara yang berbeda. Baca lebih lanjut

Naik Kereta Listrik Yuk?

“…naik kereta api, tut, tut, tut. Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya…” Sepenggal lagu Naik Kereta Api” yang hingga kini tidak diketahui siapa penciptanya itu, mengiang di benak saya, saat memasuki gerbong KRL commuter line Bekasi-Jakarta pagi ini.

Ya, lagu di atas seakan mengingatkan saya akan kenikmatan menggunakan kereta api waktu saya masih kecil.  Dan dalam konteks kekinian, hal itu masih relevan. Setiap harinya, puluhan ribu penumpang diangkut oleh moda yang sudah digunakan di Indonesia sejak 1864 ini. Baik untuk harian, maupun keperluan perjalanan jarak jauh antar propinsi, seperti mudik misalnya. Dan jujur saja, jika memungkinkan, setiap hari saya lebih memilih menggunakan kereta dibandingkan mengendarai motor. Toh sungguh tidak nikmat, mengalami panas yang menyengat, kehujanan hingga menahan emosi akibat kemacetan & tingkah laku pengendara begajulan di jalan raya Jakarta. Masalahnya adalah biaya. Hingga saat ini, biaya menggunakan kereta api masih jauh lebih mahal, dibandingkan menggunakan kereta api.

Hitungannya sederhana. Mana yang lebih ekonomis? Dalam sehari, menggunakan kereta commuterline (Bekasi-Jakarta PP), bisa mengeluarkan Rp. 13.000. Baca lebih lanjut

Gerak Motor Dibatasi, Solusi Setengah Hati?

Di Jadetabek, penambahan jumlah sepeda motor mencapai 1707 unit perharinya. (sumber: KOMPAS)

Beberapa hari ini, wacana akan kebijakan mengurai kemacetan di Jakarta makin menguat. Terbukti, harian KOMPAS, membuat tema kemacetan menjadi berita utama empat hari berturut-turut. Mulai Selasa (27/7) hingga hari ini, Kamis, (29/7). Lalu bagaimana tanggapan pemerintah provinsi DKI Jakarta, selaku pemda yang menjadi bulan-bulanan kemacetan ibukota?

Ada beberapa pilihan yang diajukan, walaupun pilihan tersebut masih dalam wacana. Dari mulai pembatasan ruang gerak sepeda motor, hingga yang akan segera diujicoba, adalah melarang sepeda motor melintas di jalur yang terdapat busway/transjakarta. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Udar Pristono, seperti dilansir kompas.com mengatakan, “Penerapan pembatasan sepeda motor di jam-jam sibuk akan diutamakan di jalur atau jalan yang dilalui bus transjakarta. Untuk pertama kali, kami akan lakukan di koridor I Blok M-Kota,” ujar Udar Pristono, Selasa (27/7/2010). Baca lebih lanjut

MRT, Kapan ada di Jakarta?

Jika anda berkunjung ke Singapura, perhatikanlah kondisi lalu lintas di jalan raya. Entah itu waktu libur, atau jam-jam sibuk di hari kerja.  Memang pastinya macet kalo hari kerja, tetapi jika diperhatikan secara seksaman, kepadatannya tidak seperti di Jakarta. Tidak ada ribuan motor menyemut, menyempil, mencari celah diantara himpitan kendaraan. Dan juga tidak ada angkutan umum yang kelebihan penumpang sampai menyisakan para penumpangnya bergelayutan di jalan. Dijamin, anda tidak akan menemukan kerumunan penumpang di halte. Pengendara motor, bisa dihitung dengan jari. Pengemudi mobil, memang banyak, tapi jika dilihat secara seksama, juga terdapat bus dan taksi dimana-mana. Lalu, bagaimana warga Singapura beraktivitas tanpa harus memenuhi jalan raya dengan sepeda motor, atau kendaraan pribadi? Baca lebih lanjut