“Dat, emang bener mau dibangun jalan tol lagi di Jakarta? Dimananya lagi sih? Duh, nanti palingan macet lagi dah, mumet dah nih kota. Bukannya angkot dibagusin, busway diperbanyak, malah jalan tol dibangun mulu. Bang**t bener nih pemda, gak mikirin rakyatnya. Mikirin proyek aje.” Kalimat di atas adalah penggalan diskusi saya dengan seorang kawan, seorang biker, yang saban hari melewati dan “menikmati” lalu lintas Bekasi-Jakarta.
Apa iya, membangun jalan tol adalah solusi kemacetan? Kalau menurut penulis, justru itu tidak menyelesaikan apapun. Pembangunan tersebut akan memberikan kesan banyakmya ruang kosong untuk berkendara, mendorong orang untuk menggunakan/membeli kendaraan pribadi. Siapa yang bisa menjamin, kemacetan akan berkurang dengan banyaknya jalan raya yang dibangun? Yang jelas bukan ane bro, ane gak punya sertifikat tanah atawa rumah untuk jadi jaminan. Ada sertifikat kursus noh bro.
Analoginya sederhana. Anggap saja kemacetan itu adalah kebocoran di sebuah keran air. Nah jika solusi yang ditempuh adalah menampung air yang bocor, tentun bersifat tentatif dan tidak menyelesaikan akar masalah. Nantinya, makin banyak kebutuhan ember untuk menampung air yang terbuang dari kebocoran. Lalu, jika embernya sudah begitu banyak, maka diperlukan ruang penyimpanan untuk ember-ember tersebut. Toh lebih baik beli keran yang mahal, kualitas bagus dgn harga sedikit mahal namun lebih ekonomis dalam menyelesaikan masalah secara tuntas. Analogi ini sama persis dengan yang sekarang terjadi. Kenapa Jakarta macet? Karena banyaknya kendaraan pribadi, entah itu motor/mobil yang tidak sebanding dengan daya tampung jalan.
Pegimane kalo dibangun jalanan yang banyak?! Mulai dah pake teriak, biasa aje bro kalo nanya. Kita pakai logika sederhana sajalah. Dari warungnya mbah Edo didapat data bahwa setiap harinya, dari 2007 -2011, setiap hari motor bertambah 1.815 unit. Sementara mobil bertambah 353 unit. Bujug, banyak banget bro! Punya siape aje tuh? Jiah, kagak tahu brader, ente ke samsat sonoh, tanya pak pulisi. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan jalan? Lagi, mengutip dari warungnya mbah Edo (yang juga kutap-kutip sana-sini di Internet), Jakarta mempunyai ruas jalan 7.650 km. Penetrasinya? Jangan ngeres bro, ini ngomongin jalan. Penambahan jalan di Jakarta sendiri hanya ±0,01%. Jelas sudah, mau sampai kapanpun, pembangunan jalan di Jakarta, tidak akan bisa mengikuti pertumbuhan kendaraan pribadi yang fantastis.
Jadi enaknye pegimane ye? Nah, kalo nanya kayak gini, adem dah jawabnya juga. Mari kita lihat kota-kota besar yang mengalami masalah transportasi, adakah yang membanung jalan-jalan raya, jalan tol atau jalan layang non-tol? Ada, tetapi mereka mengakui salah analisa, dan mengkoreksinya dengan memindahkan jalan tersebut dari tengah kota. Siapa? Seoul. Sementara Tokyo, New York dan London mengandalkan jaringan kereta bawah tanah untuk mobilitas kaum pekerja dan warganya. Bangkok? Mereka menggunakan Sky Train. Singapura justru lebih kejam, kendaraan pribadi dibatasi. Harga mobil benar-benar hanya mampu dibeli warga yang benar-benar mapan. Umur penggunaan mobil pun dibatasi, 3 tahun saja. Plus pajaknya juga tinggi. Lalu bagaimana dengan belum mampu beli mobil? Silahkan dinikmati jaringan kereta bawah tanah alias MRT yang terintegrasi dengan pusat bisnis, obyek wisata hingga pusat akademik dan pemukiman. Monggo dilihat pengalaman penulis ke negeri singa tersebut. Keren juga loh bro udah ke Singapur, bareng Gayus? Males gue lama-lama jawab pertanyaan lo.
Berapakah nilai proyek jalan tol tersebut? 40 Trilyun Rupiah. Agak aneh juga, ketika dirasakan membangun monorail terlalu mahal, kok bisa menggelar proyek puluhan trilyun? Yang menjadi keprihatinan penulis adalah, akar masalah kemacetan justru tidak diobati. Bukankah lebih baik jika armada Bus Transjakarta dibenahi secara lebih baik lagi? Penambahan armada, perpanjangan koridor hingga pembangunan SPBG (Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas) di dekat jalur Busway lebih hingga penerapan sanksi tegas terhadap penerobos jalur Busway akan sangat bermanfaat. Dan bayangkan jika ada jalur Monorail, waktu yang dihabiskan di jalan akan lebih berkurang.

Kalau semua koridor Busway seperti ini, orang akan banyak menggunakannya
Mungkin ada yang bertanya, bukankah hak masyarakat untuk mendapatkan infrastruktur? Betul, tapi dalam konteks apa? Kalau hanya jalan dibangun, itu sama juga memanjakan pengguna kendaraan pribadi. Kasihan masyarakat pengguna angkutan umum. Tapi, harus digarisbawahi juga bahwa perbaikan Transportasi Massal yang aman, ekonomis dan terintegrasi haruslah segera dilakukan. Jika tidak, masyarakat akan terus menggunakan kendaraan pribadi. Akibatnya? Kecelakaan tinggi, konsumsi bbm membengkak, dan keuangan negara tersedot untuk subsidi. Siapa yang diuntungkan?(hnr)
lanjut kakak…
karena kalo bikin jalan tol, pejabat bisa lewat di jalan tol, pake voorrider pula.
kalo bikin monorail, mana ada pejabat mau naik monorail…. :p
pindah aja ke daerah om..aihiihih 😀
http://asmarantaka.wordpress.com/2011/11/15/mv-agusta-tricluster-motor-prototype-hasil-design-anak-kampus/
yang diuntungkan yang pasti bukan saya…padahal saya sangat menantikan, mengharapkan sambil berdoa dan bersujud, meminta agar transportasi massal bisa aman, nyaman dan terkendali…tapi sepertinya…hhhh…entahlah…(lebay mode: on)
Absen masBodats 😀
http://yudibatang.wordpress.com/2011/11/15/iseng-ikutan-ducati-monster-poto-contest/
saya pernah dengar bahwa jepang tidak mau atau susah untuk kasih pinjaman kalau untuk proyek kereta api atau transportasi massal. bisa2 mobil dan motor jepang gak laku.
@orangindonesia, wah boleh dishare bro bagaimana bisa begitu?
@yudi, monggo brada…
@lingga, kayaknya enak ke bandungan yah? :p
Setuju banget! Kita ini negara besar yg sistem angkutan umumnya amburadul! Kalah sm singapura yg punya sistem MRT canggih! Memalukan!
Pemerintah g cerdas blas…..skolah tinggi2+modal berlimpah cuman bsa bangun tol……payah……….
penggunaan publik transport sangat dibenci oleh kapitalis,karena nanti tidak mggunakan(berkurang) minyak bumi dari mereka lagi……jadi ga ada ketergantungan lagi deh