Turing Mendadak. Petualangan Seru! (bag.2)

Turdak. Petualangan Seru!

bagian 2 (habis).

Seusai mengalami semua masalah tadi malam, saya terbangun sekitar pukul 06.30 pagi. Tengok kiri-kanan, Refano masih tertidur lelap. Begitu juga dengan Danz. Keduanya masih terjebak di lalu lintas mimpi. Melihat ke arah luar jendela, matahari sepertinya sudah mulai menyengat. Tapi suhu di dalam kamar masih sangat sejuk.

Refano & Danz Tidur...

Foto 1. Refano & Danz Masih Terlelap.

Pemandangan Luar HotelFoto 2. Cianjur di Pagi Hari.

Anto & TotoFoto 3. Anto & Toto Masih Tertidur.

Tiba-tiba saja ada ketukan di pintu. Alex rupanya. Bujangan asal Pondok Gede ini sudah mandi dan siap beraktifitas. Saya pun mencuci muka, agar lebih segar. Walaupun hanya tidur dua jam, rasanya lega sekali. Sambil menunggu yang lain bangun, saya & Alex langsung menyeduh coffemix dengan air panas yang disediakan oleh hotel. Ditemani hawa sejuk ala Cianjur, obrolan pun mengalir seputar rencana hari ini.

Tak lama kemudian, satu per satu anggota rombongan bangun. Tanpa diperintah lebih lanjut, semuanya langsung mandi dan berbenah. Sementara itu, dengan penuh inisiatif & perut yang lapar, saya, Refano dan Alex langsung mengambil jatah sarapan dari hotel. Sayangnya, porsi sarapan dibawah standar bunciters. “Anggap saja makanan pembuka”, ujar Alex santai. Toh memang kami berencana untuk sarapan bubur ayam di sekitar lokasi wisata Kota Bunga.

Setelah semua siap, kami check-out dari hotel. Tapi lagi-lagi, Refano bikin ulah. Dia tidak tahu kalo kuncinya ketinggalan di tempat tidur. Anto yang menemukannya diam-diam saja. Jadilah Refano bagaikan bocah ingusan yang kehilangan permen. Bulak-balik antara kamar hotel dan parkiran mencari kunci motornya. Setelah beberapa menit, Anto dengan santainya melambaikan kunci tersebut ke arah Refano yang sedang kebingungan di balkon kamar. Tawa renyah pagi memecah keheningan hotel pagi itu.

Tunggangan Masing-masing.Foto 4.  Tunggangan Andalan

Selepas dari hotel, kami langsung menuju lokasi sarapan bubur ayam. Lokasinya di sekitar aea wisata Kota Bunga. Harganya terjangkau, dan tempatnya kondusif untuk sarapan sambil ngobrol.

Sarapan bubur AyamFoto 5.  Sarapan bubur ayam.

Telaga Warna.
Sebuah obyek wisata di daerah puncak menjadi persinggahan berikutnya. Namanya Telaga Warna. Dikatakan demikian, karena konon, pada waktu-waktu tertentu, warna air di telaga tersebut bisa berubah-ubah. Tapi tujuan kami ke sana bukan itu. Cuma sekedar menuntaskan penasaran saja, karena belum pernah ada yang ke Telaga Warna.

Posisi obyek wisata ini cukup “tersembunyi”. Bagi anda yang terlena dengan lekukan Jalan Raya Puncak, pastinya akan melewatkan obyek wisata ini karena letaknya yang di tengah-tengah kebun teh. Jika kita dari arah Jakarta, letaknya di sebelah kiri, sebelum rumah makan Rindu Alam. Dari arah sebaliknya, sebelah kanan, setelah rumah makan Rindu Alam.

“Wah, sudah pernah ke Ujung Genteng ya?” demikian ujar seorang petugas polisi hutan mengomentari stiker KHCC ADVENTOURIDE UJUNG GENTENG di box saya, saat memarkir motor di pintu masuk. Saya sempat kikuk juga, jangan-jangan dia pernah ke sana.
“Iya pak, akhir tahun kemarin kami ke sana,” jawab saya sembari melepas helm.
“Bapak sudah pernah ke sana?” lanjut saya.
“Saya bertugas di sana selama tiga tahun,” jawabnya ramah.
Alhasil, mulailah obrolan pembuka dengan pak Toni, sang polisi hutan. Dari perbincangan singkat, ternyata pak Toni pernah berdinas di daerah Ujung Genteng. Tapi sayangnya bukan di daerah yang kami kunjungi. Beliau mengatakan setiap beberapa tahun sekali di rotasi. Nah saat ini beliau tengah ditugaskan di Telaga Warna. Setelah berdiskusi sejenak, saya pamit menyusul teman-teman untuk menikmati Telaga Warna.

Pepohonan rindang dengan telaga yang berada di tengahnya seakan menjadi oase ketenangan jiwa bagi kami yang sehari-hari berjibaku dengan lalu lintas Jakarta. Sementara yang lain duduk beristirahat melepas lelah, Refano justru sebaliknya. Bapak satu anak ini justru repot berpose ala model sampul majalah remaja era 80an.

Parkir di pintu masukFoto 6. Parkir di depan pintu masuk telaga warna.

Suasana Cilember...Foto 7. Suasana Telaga Warna

Monyeters..Foto 8. Suasana Kopdar MHCC (Monyet Hutan Cyber Community)


Refano The RafterFoto 9. Refano, mantan instruktur arung jeram tingkat rt/rw.

Refano di rakitFoto 10. Refano, aktivis perahu rakitan nasional.

Jungle Survival Training ala KHCCers.
Tak lama kemudian, saat Refano masih di tengah-tengah telaga, kami dipanggil oleh Danz agar mendekat ke arah Anto. Ternyata pak Toni bersedia mengantarkan kami untuk mengenal lebih dekat dengan obyek wisata yang ada. Dan petualangan pun dimulai…

Obyek pertama yang diperkenalkan adalah sebuah pohon yang berumur ratusan tahun. Menurut pak Toni, umur pohon itu hampir sama dengan usia Telaga Warna yang mencapai 400 tahun. Selanjutnya pak Toni juga menunjukkan beberapa tanaman yang mempunyai efek tertentu. Ada yang jika terkena daunnya saja bisa gatal, atau ada juga yang bisa dimakan. Tak lupa pak Toni memberitahukan beberapa lokasi yang digunakan untuk syuting sinetron misteri atau reality show berbau mistis. Nama Harry Panca sempat disebut juga.

RefanoFoto 11. Refano dan pohon tua yang berumur ratusan tahun

Perlahan-lahan, sambil menjelaskan beberapa jenis tumbuhan, pak Toni mulai mengajak kami masuk lebih dalam ke hutan di sekitar Telaga Warna. Suasana berubah. Yang tadinya wilayah terbuka, mulai masuk ke jalur semak belukar tipikal hutan tropis. Lembabnya tanaman dan suhu yang sejuk membawa atmosfer tersendiri.

Botani...Foto 12. Pak Toni memberikan penjelasan tentang tumbuhan.

Belajar tumbuhan...Foto 13. Bukannya Memerhatikan, malah sibuk pose. Dasar!

Tumbuhan BegoniaFoto 14. Begonia, salah satu tumbuhan yang bisa dimakan.

genit bangetsssFoto 15. Sebelum makan Begonia, pose dahulu (teteeeepppp)

Tak lupa juga pak Toni menjelaskan bahwa di sekitar hutan ini  masih terdapat binatang buas seperti macan kumbang (Panthera Pardus Melas). Tapi pak Toni juga menjelaskan bahwa macan kumbang adalah salah satu binatang nocturnal yang artinya berburu di malam hari dan beristirahat di siang hari. Orang yang pertama kali bernapas lega mendengar penjelasan itu adalah Alex. 😀

Lalu perjalanan dilanjutkan. Namun entah kenapa, mungkin karena terbiasa mendaki gunung, saya mulai mengamati jalur yang kami lalui. Tumbuhan masih menutup rapat jalan setapak ini. Perkiraan saya jalur ini bukanlah jalur umum. Hal ini didukung pula dengan lebar jalur yang cenderung sempit. Saya perhatikan, beberapa tumbuhan yang kami injak sudah kembali berdiri, kembali ke posisi semula. Saya semakin yakin ini jalur khusus polisi hutan. Yang pasti bukan untuk umum.

Tiba-tiba saja, ketika kami sedang berjalan, pak Toni menyuruh kami berhenti.
“Coba lihat ke bawah ini,” katanya sambil menunjuk ke arah bebatuan.
Awalnya kami semua tidak mengerti harus melihat apa.
“Ada apa pak?” tanya Refano lebih lanjut.
“Nih dia, bunglon,” ujar pak Toni sambil menunjuk seekor mahluk kecil berkaki empat.
Benar saja. Di hadapan kami, mahluk (yang katanya) paling cerdas di bumi, terdiam tanpa gentar seekor mahluk kecil. Kulitnya yang menyerupai permukaan tanah di sekitarnya, membuat kami tidak bisa melihatnya. Sebuah defensive tactic baginya untuk survive di hutan. Lagi-lagi dalam hati saya berkata, “Tuhan Memang Maha Pencipta”.

bunglonFoto 16. Bunglon

Puas melihat sang bunglon, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah mata air alami. Menurut pak Toni, mata air ini sudah ada sejak zaman bung Karno. Berarti sudah 60 tahun lebih. Konon lagi, siapapun yang membasuh muka, dipercaya akan mendapat berkah. Tapi untuk yang terakhir ini hanya sebuah legenda. Tak lupa pak Toni mengatakan bahwa tingkat ph air tersebut sangat berimbang. Sehingga, air tersebut layak untuk langsung dikonsumsi. KHCCers pun langsung membasuh muka, sekedar menyegarkan diri. Airnya terasa dingin menyegarkan. Semangat menjelajah pun makin berkobar. (Untuk mata air, terdokumentasikan via video yang akan menyusul kemudian).

“Kita lanjutkan, tapi kita tidak ke sini ya,” ujar pak Toni sambil menunjuk salah satu jalur yang lebih samar-samar. Saya perhatikan jalur ini benar-benar masih perawan. Sekilas terlihat ada jalur, tapi jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada jalur sama sekali. Pasti jarang dilewati, pikir saya dalam hati.
“Kenapa pak?” tanya saya ingin tahu.
“Kalo kita lewat sana, masih berbahaya. Binatang melata masih banyak di sana.” ujarnya santai.
“Jadi, kita balik lagi ke jalur yang tadi.” tambahnya lagi.
Sembari berjalan balik, ia menjelaskan beberapa jenis binatang melata yang masih ada seperti ular kobra, Sanca dan Phyton. Mendengar itu, Dadan langsung melakukan overtake position. Jadilah saya berada pada posisi “sweeper”.

Belum hilang rasa takjub kami, lagi-lagi pak Toni memberikan kejutan. Tiba-tiba saja, beliau menangkap sesuatu di permukaan tanah. Awalnya saya mengira dia ingin menunjukkan sebuah tanaman lagi, tapi ternyata bukan.
“Ini dia, katak terkecil di dunia,” ujar pak Toni.
Mendengar itu, kami semua merasa tidak percaya. Tapi setelah memandang dengan seksama, mata ini seakan terkejut. Diantara jari telunjuk dan jempol pak Toni, ada seekor mahluk kecil. Dan ternyata benar, mahluk ini memang katak dalam ukuran super mini.
“Sudah didokumentasikan kah, mahluk ini pak?” tanya saya dengan penasaran. Pak Toni hanya menggelengkan kepala.
“Waduh, kok kekayaan alam kita malah jarang dieksplorasi ya?” ujar saya sedikit berkeluh kesah.

Katak TerkecilFoto 17. Katak terkecil di dunia.

Belum reda ketakjuban kami, ada lagi sebuah kejutan. Pak Toni memberitahu kami bahwa ada tumbuhan yang sedang mekar. Uniknya, tumbuhan ini hanya mekar selama sembilan tahun sekali. Biasa disebut putri salju, tumbuhan ini mempunyai bunga berwarna keunguan. Di tengah dominasi warna hijau di tengah-tengah hutan, tumbuhan bak putri yang memesona.

Putri SaljuFoto 18. Tumbuhan Putri Salju

Setelah itu kami mulai berjalan ke atas. Ternyata jalur yang kami lalui mempunyai jalan keluar yang langsung menuju ebun teh. Dan dugaan saya soal jalur yang “khusus” itu benar. Saat melewati jalan keluar dari jalur tersebut, ada sebuah papan yang bertuliskan “BUKAN JALUR UMUM. BERBAHAYA”.

Perubahan kontur dan medan, dari hutan tertutup rapat ke perkebunan teh membawa dampak positif dan negatif. Positifnya, Anto dan Toto semakin bersemangat mengikuti penjelasan pak Toni. Negatifnya, baik Alex maupun Danz meringis-ringis menahan sakit di kaki. Maklumlah, sepatu yang digunakan bukan sepatu hiking. Sementara si Refano malah sibuk memikirkan alasan kepada sang istri mengapa dirinya pulang terlambat dari yang dijanjikan.

Tapi itu semua tidak menjadi halangan dalam mencapai tujuan kami yaitu curug nonggeng. Dikatakan demikian, karena bentuknya yang seperti wanita dalam posisi (maaf) menungging. Tapi ketika kami tiba, kemungkinan nama itu diberikan karena alasan lain. Setiap salah satu dari kami ingin membasuh muka, maka posisinya harus nungging. Mungkin itu alasannya. Airnya bening dan sejuk.

pemandangan kebun tehFoto 19. Pemandangan Kebun Teh di Siang Hari

6 turdakersFoto 20. Inilah dia, para turdakers.

AntoFoto 21. Anto di curug nungging

Curug yang berukuran kecil ini masih cukup menjadi pelipur lara bagi kami yang hampir 1 jam menjelajahi kebun teh dan hutan sekitarnya. Sementara Alex dan Danz, yang kelelahan dan menahan sakit di kaki, masih bisa tersenyum ketika tiba di curug ini. Setelah usai berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke Telaga Warna.

Alex sang mandorFoto 22. Alex sang mandor perkebunan.

Kebun Teh 3Foto 23. Salah satu sudut pemandangan kebun teh.

Setelah melepas lelah di saung, kami pun meminta izin kepada pak Toni dan rekannya untuk melanjutkan perjalanan. Pak Toni juga mengingatkan bahwa beberapa bulan ke depan, dirinya kemungkinan akan dirotasi ke gunung Pancar, Bogor. Jadi dia memersilahkan jika kita ingin mengeksplorasi lebih lanjut kawasan tersebut. Dia bersedia menjadi pemandu. Anto pun langsung bersemangat dan memasang muka sumringah. Alhasil, saya dan Refano memberikan nomor kontak kami. Pak Toni dengan cekatan mencatat nama dan nomor telepon kami.

Lepas dari Telaga Warna, kami menuju sebuah rumah makan di pertigaan Tajur. Setelah puas makan dengan kenyang, kembali lagi meluncur menuju perempatan Ciawi untuk sekedar membeli oleh-oleh.

Makan Siang @ Simpang RawiFoto 24. Makan Siang di RM. Simpang Rawi

Belanja Oleh2xFoto 25. Beli Oleh-oleh.

Anto makan es kelapaJarum sudah menunjukkan pukul 15.30 saat kami mulai perjalanan pulang menuju Jakarta. Kemacetan di Bogor dan sekitarnya kami lalui dengan sabar. Toto memisahkan diri di Cibinong, Danz ke arah Depok. Kami berempat (saya, Refano, Alex dan Anto) berkonvoi santai menyusuri jalan Raya Bogor. Sempat juga beristirahat di sebuah warung es kelapa muda. Melepas penat, menghilangkan dahaga dengan air kelapa murni dicampur es.

Senja mulai merayap saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Refano berangkat terlebih dahulu. Lalu menyusul Anto. Saya dan Alex memutuskan untuk melewati jalur Cibubur – Cilangkap – Pondok Gede. Kami berpisah di pertigaan Sumir, Pondok Gede. Tak lama berpisah dari Alex, saya menepi sejenak di warung pinggir jalan, melepaskan peralatan rakom yang menempel di helm. Lalu mereguk minuman ringan yang dingin untuk sekedar menyegarkan tenggorokan.

Setelah memasang earphone ipod ke telinga, perjalanan menuju rumah dilanjutkan. Tak disangka,  sebuah lagu berirama Jazz berkumandang. Mendengarkan lagu ini seakan membawa kembali kenangan unik, seru, menegangkan hingga menyenangkan yang baru saja saya jalani.  Sebuah perjalanan penuh kejutan yang tak akan terlupakan.

These are the days that I’ve been missing
Give me the taste, give me the joy of summer wine
These are the days that bring new meaning
I feel the stillness of the sun and I feel fine

[Jammie Cullum – These Are The Days]

Iklan

24 comments on “Turing Mendadak. Petualangan Seru! (bag.2)

    • sama-sama bro… kalo jalurnya, gampang kok. pokoknya, kalo sudah memasuki kawasan kebun teh puncak pass, lihat sisi sebelah kanan. ini kalo ente dari arah Jakarta ya, kalo dari arah sebaliknya, sebelah kiri. Ada papan cukup besar bertuliskan “Wisata Telaga Warna”. Nah mobil parkir di bawah. Kalo motor, silahkan masuk. Tapi hati-hati karena harus berbagi jalur dengan pejalan kaki. Selamat mencoba…

      smart bastard!

      https://bodats.wordpress.com

  1. mantep2…….gw suka yang kaya gini ni ayok lah kapan lagi TDGnya……berangggggkatttttttttttttttttttt………..

  2. Mudah2an bisa join di TDG selanjutnya …..
    mantaps
    walaupun Turing dadakan gila
    klo bisa mongtornya jgn lupa di tune up biar maknyossss ngelahap jalanan, tanjakan n offroad ^_^ (saran gw !!! )

    • yoi bro…
      turdak mungkin namanya, tapi bukan berarti segalanya tidak dipersiapkan.
      Kalo motor dirawat, kapanpun mau turing, pasti siap.
      Jadi, siapin motor dan diri lah. He…3x!

  3. wah keren pemandangan2nya..turing dan hiking merupakan kombinasi yang dahsyat rupanya….hahahaha..Lanjutkan !

  4. Whuehehehe…….

    Kombinasi jurnalis dengan privateer….

    kapan2 lagi ah…. *go.. go… to buryam cipanas.. xixixi

Tinggalkan Balasan & Jangan Tampilkan Link Lebih Dari 1.

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s