Katak Rebus, ERP dan ‘Pusing-pusing’

Sir, can you take me to China Town?” tanya saya ketika hendak menumpang taksi dari depan Mustafa Centre, saat berkunjung ke Singapura beberapa waktu lalu.

“Ok!” jawab si supir singkat.

“China Town, yes?” tanya sang supir, yang sepertinya berasal dari suku India. Orangnya berkulit hitam, hidung mancung, matanya tajam. Tipikal orang India lah.

“Yes, China Town,” sahut saya sambil mulai bersandar di bangku belakang.

“Where are you come from?” tanya sang supir.

“Indonesia. Jakarta,” jawab saya.

“Oh, Indonesia ya? Mau makan-makan di China Town?” sang supir memulai percakapan.

(Jangan kaget bila anda berkunjung ke Singapura, dan menemukan penduduk asli di sana bisa berbahasa melayu. Selain Singlish (Singaporean English), Mandarin dan India, bahasa melayu adalah juga merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan di Singapura. Jadi kebanyakan penduduk Singapura, terutama suku melayu dan India bisa bercakap-cakap dengan bahasa melayu. Walaupun sering dicampur aduk dengan Singlish (Singaporean English) atau bahasa inggris ala orang Singapura)

“Iya, banyak makan enak di sana pak cik?” tanya saya.

“Enak! Lu boleh pilih makanan banyak.” Jawabnya bersemangat.

“Tapi, ada satu tempat, saya tak nak makan. Orang banyak cakap, itu tempat makananannya enak sangat. Tapi saya tak nak lah, geli lah. Tak nak makan.” Ujarnya sambil memerhatikan lalu lintas di depan yang mulai padat.

“Hah, kenapa begitu pak cik?”

“Ah, apa itu dia punya nama. Ah iya, itu restauran kasih kita makan katak lah. Hii, saya tak nak makan itu binatang. Berapapun orang kasih duit. Tak nak lah. Macam mana dia punya rasa. Hii….” ujarnya sambil tertawa lepas. Saya pun ikut tertawa. Benar juga, apa enaknya makan katak goreng?

“Nah, lu lihat di depan nih. Sudah Jam lah.” (Jam = traffic jam = macet). Suara sang supir memotong tawa tawa saya.


“Mampus awak sudah Jam. Tengok di depan tuh. ERP belum finish lah.” tambah sang supir sedikit menggerutu sambil mengarahkan pandangan ke depan. Di depan kami, sebuah persimpangan, dipenuhi oleh kendaraan yang mengantri menunggu lampu lalu lintas memberikan sinyal untuk berjalan. Sementara di seberangnya, terlihat papan besar ERP.  Artinya, jika masuk jalan itu, saya sebagai penumpang harus membayar biaya masuk ke kawasan ERP plus ongkos taksi.

“Loh, kita masuk ERP pak cik?” ujar saya sambil kebingungan.

“Ndak lah. Lu lihat ke depan. Sudah kena Jam nih kita. Mana bisa buat apa-apa lagi.” tutur sang supir sambil menghela napas.

“Eh, tapi sekejap. Tengok, sekarang waktu sudah 07.58. Kita coba lihat ya. Saat sudah hijau, belum finish juga, kita pusing-pusing lah.” (pusing-pusing = putar-putar = memutar/mencari jalan lain).

“Ok pak cik. Kalo kita harus pusing-pusing, boleh lah.” jawab saya sedikit tersenyum mendengarkan istilah ‘pusing-pusing’.

“Ya lu orang tahu? ERP ini bagus dia punya alat. Tidak pernah rusak. Coba lu tengok ke sini waktu hujan. Traffic light bisa rusak, kadang-kadang mati. Tapi, nih ERP, tidak mati, tidak rusak lah. Macam mana ini.” tambahnya dengan sedikit menggerutu.

“Oh begitu pak cik? Jadi jika Hujan, alat ERP tidak rusak, tapi lampu (lalu lintas) bisa rusak ya?” tanya saya lagi.

“Ya. Banyak orang complain lah. Nah, sekarang lu orang coba tengok. Itu tuh, lama kaliiii berubah dari lima delapan ke lima sembilan (19.58-19.59). Macam mana nih ERP. Duit saja dicharge ke kita. Ah, kacau nih ERP,” gerutunya sembari melihat ke papan ERP di seberang jalan.

Tingkah polahnya yang menggerutu, tapi dengan logak melayu membuat saya tertawa-tawa. Selain karena cukup aneh mendengara campuran bahasa melayu dan bahasa Inggris, dialeknya mengingatkan kepada film serial kartun dari negeri Malaysia, Ipin dan Upin.

Sesaat kemudian, lampu hijau sudah menyala dan antrian mobil pun bergegas meninggalkan persimpangan. Ada yang menghindari ERP dengan berbelok ke kiri ataupun ke kanan, namun ada yang pasrah masuk ke ERP. Untungnya, mobil kami berhenti tepat saat lampu merah dan waktu di papan ERP menunjukkan pukul 19.59 (ERP malam berlaku 17.00 – 19.00).

“Nah! Baru dia masuk ke lima sembilan (19.59) hah. Coba kita tengok nih alat. Jika lambat dia hitung, pusing-pusing sajalah kita. Rugi bayar satu dolar nih ya,” ujarnya penuh harap.

“Pak Cik, memang kenapa kalo masuk wilayah ERP?” saya bertanya lebih jauh.

“Ndak apa-apa lah. Tapi coba lu pikir lah. Kita masuk ya. 1 menit lagi itu ERP dah mau off (mati). Tapi tetap kena charge one dollar. Tidak fair lah.” sahutnya. Lalu dia sambung lagi.

Sometimes, banyak orang suka tunggu, atau parkir dia punya mobil di pinggir jalan. Tunggu itu ERP habis lah,” tambahnya dengan mimik serius.

“Bisa begitu di sini? Tidak kena charge (baca:tilang)?”

“Ah tidak bisa lama-lama. Lu parkir tunggu itu ERP. Ada Saman (polisi) yang monitor lu parkir. Nah, lebih dari lima menit ya. Lu kena charge. Besok pagi, tuh tiket sudah ada di rumah lu.”

“Loh, seperti itu?”

“Ya, kalo lu tak terima. Dia kasih foto lu punya mobil berhenti dimana. Di sini, mereka kerja Undercover lah. kacau lah kalo sudah urus sama Saman.”

“Kena charge berapa pak cik?” selidik saya.

“Wah, itu bisa tinggi. Lu melanggar sedikit saja, bisa kena charge S$100! Coba lu pikir lah supir taksi. Angkut penumpang, turun sembarangan, kena charge seratus dollar! Padahal kita charge penumpang hanya empat puluh dollar, di charge Saman S$100! Hancur kita. Kacau lah.”

Saya jadi berpikir, tingkah laku para pengemudi menunggu waktu habisnya ERP bisa dikategorikan sebagai tidak tertib, atau karena mereka sadar akan haknya? Membayar penuh ERP, padahal sebentar lagi waktunya habis, sungguh bukan sesuatu yang mengenakkan. Saat tengah memikirkan itu, teriakan sang supir mengagetkan saya.

“Yeah! Sudah finsih itu ERP. Ha…ha…ha… Bagus dia punya timing. Jadi lu tidak kena charge lah! Let’s go to China Town.”

Saat ia mengatakan itu, saya langsung memandang ke arah rambu ERP di depan. Dan ternyata benar. Sudah mati. Artinya zona ERP sudah tidak berlaku lagi.

Tak lama kemudian, sang supir sudah memacu taksi ini menuju China Town. Satu yang saya perhatikan selama menumpang taksi di Singapura, apapun jenis taksinya, para pengemudinya selalu waspada terhadap pengendara lain. Termasuk yang kini saya tumpangi. Setiap kali menemui persimpangan, dia akan memelankan laju kendaraan, dan melihat ke kiri-kanan, mengecek keberadaan kendaraan lain.

Tak lama kemudian, saya tiba di China Town. Sesaat sebelum turun, sang supir berkata, “Hei, jangan lupa. Coba rasakan itu katak. He…he…he…”

Saya hanya bisa tertawa sambil mengacungkan jempol. (hnr)

8 comments on “Katak Rebus, ERP dan ‘Pusing-pusing’

  1. pusing2 gw coba terawang tuh dialek si supir hahaha…
    next time ke sana kita dat?lo jaga lilin biar gw yang muter yah hahaha

  2. Boleh jg tuu je, gw pinjem dulu dunk bwt rehab si item
    mau ganti baju, dah 5 thn ga ganti2 …. hehehheee

    yuks kita berpusing pusing saja siang ini ^___^

  3. ehhh, adik ku yg subur, bukan ‘lu’ tapi ‘yu’ singkat kata dari you,. macam mana awak ni??

    eh, bikin cerita kasino singapur dong! yg turis ga byr fee kl mau masok tapi orang lokal bayar! haha!
    trus, sama supier yg gondrong yg ternyata pemain band, yg dia nolak tawaran taxi kerja 2 kali, haha!

    shout it out loud, be save, bro!

Tinggalkan Balasan & Jangan Tampilkan Link Lebih Dari 1.